Jihad sebagai satu amalan besar dan
penting dalam islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali tentunya
menjadi harapan dan cita-cita seorang muslim. Oleh karena itu, sangat penting
sekali setiap muslim mengetahui pengertian, ketentuan dan hukum-hukum serta
syarat-syarat jihad yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an, Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar para salaf
umat ini. Hal–hal ini menjadi penentu kesempurnaan jihad fi sabilillah dan
diterimanya amalan tersebut, sehingga kita terhindari dari celaan Allah dalam
firmanNya,
قُلْ
هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
يُحْسِنُونَ صُنْعاً
“Katakanlah, apakah akan kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang
mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi:
103-104)
Menganggap dirinya mati syahid
padahal amalannya jauh dari kebenaran dan jauh dari aturan syariat
Allah. Padahal sudah dimaklumi, amalan tidak diterima Allah sebagai amal
sholih kecuali dengan dua syarat yaitu ikhlas dan mengikuti syariat
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
Renungkan kembali wahai orang yang
berakal, agar kalian beruntung!!
Pengertian Jihad
Kata Jihad berasal dari kata Al
Jahd (الجَهْد) dengan
difathahkan huruf jim-nya yang bermakna kelelahan dan
kesusahan atau dari Al Juhd (الجُهْد)
dengan didhommahkan huruf jim-nya yang bermakna kemampuan.
Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ) bermakna mengeluarkan
kemampuannya. Sehingga orang yang berjihad dijalan Allah adalah orang yang
mencapai kelelahan untuk dzat Allah dan meninggikan kalimatNya yang
menjadikannya sebagai cara dan jalan menuju surga. Dibalik jihad memerangi jiwa
dan jihad dengan pedang, ada jihad hati yaitu jihad melawan syetan dan mencegah
jiwa dari hawa nafsu dan syahwat yang diharamkan. Juga ada jihad dengan tangan
dan lisan berupa amar ma’ruf nahi mungkar.[1]
Sedangkan Ibnu Rusyd (wafat tahun
595 H) menyatakan: Jihad dengan pedang adalah memerangi kaum musyrikin atas
agama, sehingga semua orang yang menyusahkan dirinya untuk dzat Allah maka ia
telah berjihad dijalan Allah, namun kata jihad fi sabilillah bila disebut
begitu saja maka tidak terfahami kecuali untuk makna memerangi orang kafir
dengan pedang sampai masuk islam atau memberikan upeti dalam keadaan rendah dan
hina.[2]
Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728H)
mendefinisikan jihad dengan pernyataan: Jihad artinya mengerahkan seluruh
kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang
dibenci Allah.[3]
Dan beliau juga menyatakan: Jihad
hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa
iman dan amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran,
kefasikan dan kemaksiatan.[4]
Tampaknya tiga pendapat di atas
sepakat dalam mendefinisikan jihad menurut syariat islam, hanya saja penggunaan
lafadz jihad fi sabilillah dalam pernyataan para ulama biasanya digunakan untuk
makna memerangi orang kafir. Oleh karena itu Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin
Al ‘Abaad menyatakan bahwa definisi terbaik dari jihad adalah definisi Ibnu
Taimiyah diatas dan beliau menyatakan: “Terfahami dari pernyataan Ibnu Taimiyah
diatas bahwa jihad dalam pengertian syar’i adalah nama yang meliputi penggunaan
semua sebab dan cara untuk mewujudkan perbuatan, perkataan dan keyakinan
(i’tiqad) yang Allah cintai dan ridhai dan menolak perbuatan, perkataan dan
keyakinan yang Allah benci dan murkai”[5].
Namun dalam pembahasan di sini kami
hanya memerinci dan menjelaskan jihad memerangi orang kafir yang masih banyak
belum terfahami dan diketahui kaum muslimin sehingga diharapkan dapat
bermanfaat.
Ketentuan-ketentuan Syari’at
dalam Jihad
Melihat dan meneliti sunah-sunah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar
permasalahan jihad memerangi orang kafir, maka dapat dikategorikan
ketentuan-ketentuan jihad dalam tiga hal, yaitu:
ketentuan jihad dari sisi hukumnya,
ketentuan jihad dari sisi cara dan
pelakunya,
ketentuan jihad dari sisi pembagian
hasil rampasan perangnya.[6]
Ketentuan Jihad dari Sisi Hukum.
Jihad dari sisi hukum memiliki
ketentuan-ketentuan berikut ini:
Ketentuan pertama.
Membedakan hukum jihad sesuai
jenisnya. Karena jihad memerangi orang kafir terbagi menjadi dua jenis. Dan
syariat memberikan hukum tertentu pada setiap jenis jihad tersebut. Jihad
terbagi menjadi dua:
• Jihad bertahan (Jihad Al Daf’i)
• Dan jihad menyerang (Jihad Al Tholab).
Syaikh Abdulaziz bin Baaz (wafat tahun 1420 H ) menyatakan: Jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad Al Tholab (menyerang) dan jihad Al Daf’u (Bertahan).[7]
• Jihad bertahan (Jihad Al Daf’i)
• Dan jihad menyerang (Jihad Al Tholab).
Syaikh Abdulaziz bin Baaz (wafat tahun 1420 H ) menyatakan: Jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad Al Tholab (menyerang) dan jihad Al Daf’u (Bertahan).[7]
Hukum Jihad bertahan adalah wajib
atas seluruh orang yang berada didaerah yang diserang musuh, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah menyatakan: Apabila musuh memasuki negri islam maka tidak
diragukan lagi wajib melawannya atas orang yang terdekat kemudian yang
seterusnya, karena negri islam semuanya dihukumi satu negeri.[8]
Sedangkan jihad menyerang (jihad Al
Tholab) hukumnya fardhu kifayah, apabila telah cukup dilaksanakan sebagian kaum
msulimin maka yang lainnya tidak diwajibkan. Inilah pendapat mayoritas ulama
dengan dasar firman Allah:
لَا
يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ
أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً
وَكُلّاً وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى
الْقَاعِدِينَ أَجْراً عَظِيماً
Tidaklah sama antara mukmin yang
duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan
orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang
yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala
yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang
yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. An-Nisaa`: 95)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang
yang tidak turut berperang tidak berdosa dengan adanya orang lain yang
berperang. Demikian juga firman Allah:
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ
فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.(QS. At-Taubah: 122)
Juga karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus sariyah (pasukan perang tanpa
dipimpin langsung oleh beliau) sedangkan beliau dan sisa para sahabat bermukim
dimadinah tidak keluar berperang.[9] Hal ini cukup jelas menunjukkan
jihad menyerang orang kafir tidaklah fardhu a’in.
Sebagian ulama menjelaskan beberapa
keadaan jihad menjadi fardhu ‘ain yaitu:
a. Jika terjadi
peperangan dan berhadap-hadapan dua barisan. Diwajibkan berperang bagi
seseorang yang ikut serta dan menyaksikan peperangan dan dilarang lari dari
perang dengan syarat jumlah musuh tidak lebih dari tiga kali lipat kaum
muslimin dengan dalil firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفاً فَلَا تُوَلُّوهُمُ
الْأَدْبَارَ * وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفاً لِقِتَالٍ
أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ
بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ
جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai orang-orang beriman, apabila
kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah
kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka
(mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali
membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah meraka Jahanam. Dan amat
buruklah tempat kembalinya.(QS. Al-Anfal: 15-16)
Dan firmanNya:
الْآَنَ
خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ
أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفاً فَإِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا
مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ
Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika ada di
antaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada
seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan
Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal: 66)
Seandainya kaum kafir berjumlah tiga kali lipat dari kaum muslimin maka tidak diwajibkan berperang dan diperbolehkan mundur dan ini hanya berlaku pada jihad Al Tholab.
Seandainya kaum kafir berjumlah tiga kali lipat dari kaum muslimin maka tidak diwajibkan berperang dan diperbolehkan mundur dan ini hanya berlaku pada jihad Al Tholab.
Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620
H) menyatakan: Apabila kaum muslimin berjumpa (dalam peperangan) dengan kaum
kafir maka wajib bertahan dan tidak mundur… diwajibkan bertahan dengan dua
syarat:
Pertama, kaum kafir tidak
melebihi kelipatan kaum muslimin, apabila lebih maka boleh mundur dengan dalil
firman Allah:
الْآَنَ
خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ
أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفاً فَإِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا
مِائَتَيْنِ
Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika ada di
antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang. (QS. Al-Anfal: 66)
Walaupun ayat ini dengan lafadz
berita namun maknanya adalah perintah dengan dalil firmanNya:
الْآَنَ
خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ
Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu,
Dan seandainya ini hakekatnya
adalah berita, tentu pengembalian kita dari satu orang yang mengalahkan sepuluh
orang kepada satu orang yang mengalahkan dua orang, bukanlah merupakan satu
keringanan. Juga karena berita Allah pasti benar dan tidak menyelihi isi berita
tersebut. Telah jelas bahwa kemenangan dan kesuksesan tidak didapatkan kaum
muslimin dalam setiap peperangan yang jumlah musuhnya sama atau kurang dari
kaum muslimin, sehingga jelaslah bahwa ini adalah perintah dan kewajiban dan
belum ada satupun ayat yang memansukhkannya, tidak dalam Al
Qur’an ataupun dalam sunnah, sehingga wajib berhukum dengannya. Ibnu Abas
berkata: Ketika turun firman Allah:
فَإِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا
مِائَتَيْنِ
Jika ada dua puluh orang yang
sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. (QS.
Al-Anfal: 95)
Maka hal itu menyusahkan kaum
muslimin ketika Allah wajibkan pada mereka tidak mundur seorang dari sepuluh
orang. Kemudian datang keringanan, dalam firmanNya:
الْآَنَ
خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ
أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفاً فَإِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا
مِائَتَيْنِ
Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika ada di
antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang. (QS. Al-Anfal: 66)
Ketika Allah berikan keringanan
bagi mereka dari jumlah tersebut, berkuranglah kesabaran seukuran keringanan
jumlah tersebut. (diriwayatkan Abu Daud). Ibnu Abas juga berkata : Siapa yang
lari dari seorang maka ia telah kabur (mundur), yang mundur dari dua orang maka
telah lari (dari perang) dan yang lari dari tiga orang maka ia tidak termasuk
yang melarikan diri (dari perang).
Kedua , tujuan
mundurnya bukan untuk bergabung kepada kelompok tentara lainnya atau siasat
perang. Apabila tujuan mundurnya adalah salah satu dari dua hal ini maka
diperbolehkan.[10]
b. Bila musuh memasuki satu
daerah maka wajib bagi penduduknya untuk berperang dan membela daerahnya dan
ini sama dengan orang yang ikut serta dan menyaksikan pertempuran. Karena bila
musuh telah memasuki satu daerah maka mereka akan melarang keluar masuk daerah
tersebut dan yang lainnya sehingga harus ada pembelaan. Dalam keadaan seperti ini.
Inilah yang dinamakan jihad al-Daf’u (jihad bertahan).
c. Bila imam menunjuk
orang-orang tertentu untuk berjihad, maka orang-orang tersebut wajib berperang.
d. Jika imam telah
mengumumkan perang umum, maka wajib bagi seluruh rakyatnya untuk berperang dengan
dasar firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا
قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى
الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآَخِرَةِ فَمَا
مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا
قَلِيلٌ * إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ
عَذَاباً أَلِيماً وَيَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ وَلَا
تَضُرُّوهُ شَيْئاً وَاللَّهُ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Hai orang-orang yang beriman,
apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang)
pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu. Apakah kamu
puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal
kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah
sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa
dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu
tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu. (QS. At-Taubah: 38-39)
Dan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
لاَ
هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ
جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
Tidak ada hijroh setelah
penaklukan kota Makkah akan tetapi jihad dan niat. Dan jika kalian diminta
untuk pergi berjihad maka pergilah. (Mutafaqun Alaihi)[11]
e. Jika seseorang
dibutuhkan dalam jihad dan tidak ada yang lainnya , maka jihad wajib baginya.[12]
Ketentuan kedua.
Jihad melawan orang kafir tidak
terbatas hanya pada jihad bertahan
(jihad Al daf’u) saja, sebagaimana pendapat sebagian orang yang berdalil dengan
tiga ayat Al Qur’an; yaitu
a. firman Allah:
وَقَاتِلُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ
يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas. (QS
Al Baqarah: 190)
Syaikh bin Baz menjawab dengan
menyatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan perang untuk bertahan (Jihad Al
Daf’u), namun maknanya adalah: memerangi orang yang terlibat dalam peperangan,
seperti orang yang kuat lagi mukallaf dan membiarkan orang yang tidak terlibat
seperti wanita, anak-anak dan semisalnya sehingga Allah berfirman setelah
itu:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا
فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan perangilah mereka itu,
sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah
belaka. (QS. Al Baqarah: 193)
Sehingga jelaslah kebatilan
pendapat ini. Kemudian seandainya benar pendapat mereka maka ayat ini telah
dimansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat pedang.
b. Firman Allah:
لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam). (QS. Al Baqarah: 256)
Beliau menjawab bahwa ayat ini
tidak bisa dijadikan dalil, karena ayat ini khusus untuk ahli kitab dan majusi
dan sejenisnya. Mereka tidak dipaksa masuk islam jika telah menunaikan jizyah
(upeti), ini adalah salah satu pendapat ulama dalam makna ayat. Pendapat kedua
menyatakan bahwa ayat ini mansukh dengan ayat pedang. Dan (yang benar) tidak
butuh nasakh, bahkan ia adalah khusus untuk ahli kitab sebagaimana ada dalam
tafsir dari beberapa ulama sahabat dan salaf. Sehingga ayat ini khusus untuk
ahli kitab dan sejenisnya, mereka tidak dipaksa apabila telah menunaikan jizyah
(upeti), demikian juga orang yang disamakan hukumnya dengan mereka dari
kalangan majusi dan yang lainnya apabila telah menunaikan upeti maka tidak
dipaksa (masuk Islam). Juga karena yang rojih (pendapat yang kuat) menurut para
ulama hadits dan ushul bahwa tidak menggunakan nasakh apabila
memungkinkan komprominya. Apalagi telah diketahui bahwa cara kompromi
memungkinkan dalam hal ini. Apabila mereka enggan juga masuk islam dan bayar
jizyah maka diperangi sebagaimana dijelaskan ayat-ayat yang lainnya.
c. firman Allah :
إِلَّا
الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ
صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ
يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ
لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلاً
Tetapi jika mereka membiarkan
kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka
Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka. (QS.
An-Nisaa`: 90)
Mereka menyatakan, yang membiarkan
dan tidak memerangi kita tentunya tidak kita perangi. Telah kamu ketahui bahwa
ini terjadi pada keadaan kaum muslimin lemah diawal hijrohnya mereka ke
Madinah, kemudian dinasakh dengan ayat pedang dan selesai perkaranya. Atau bisa
juga difahami bahwa hal ini ada pada keadaan lemah kaum muslimin, sehingga bila
telah kuat maka diperintahkan untuk berperang, sebagaimana pendapat lainnya
yang telah kamu ketahui, yaitu tidak menggunakan nasakh. Dengan demikian
jelaslah kebatilan pendapat ini dan pendapat ini tidak memiliki dasar dan sisi
kebenarannya.[13]
Adapun dalil jihad al tholab dan
dakwah adalah adanya tentara dan sariyah yang RasulullahShallallahu ‘alaihi
wa sallam utus untuk mendakwahi dan memerangi orang agar masuk islam.
Bahkan disampaikan Ibnu Umar bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ
عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ
إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللَّهِ
Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia sampai bersaksi sesungguhnya tiada sesembahan yang benar
kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah (Syahadatain), menegakkan sholat
dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan hal tersebut maka terjaga dariku
darah dan harta mereka kecuali dengan hak islam dan hisab mereka pada Allah.[14]
Hal ini pun dikuatkan dengan firman
Allah:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا
يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan perangilah mereka, supaya
jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka
berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka
kerjakan. (QS. Al-Anfal: 39)
Ketentuan ketiga
Membedakan antara jihad syar’i
dengan jihad bid’ah sehingga berjihad sesuai dengan syari’at dan sesuai dengan
tujuan jihad, yaitu meninggikan kalimat Allah dan menjadikan seluruh agama
(din) hanya untuk Allah, seperti disampaikan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallamdalam hadits Abu Musa Al Asy’ari yang berbunyi:
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ
لِلْمَغْنَمِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ فَمَنْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ
اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Seseorang mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: seseorang berperang untuk
mendapatkan harta rampasan dan seseorang berperang untuk dikenang serta
seseorang berperang untuk dilihat kedudukannya, maka mana yang berada dijalan
Allah. Beliau menjawab: “Orang yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah
maka ialah yang berada dijalan Allah.”[15]
Dengan demikian maka jihad
yang syar’i adalah jihad yang bertujuan meninggikan kalimat Allah dan
menjadikan din ini seluruhnya hanya untukNya. Sebagaimana dijelaskan Ibnu
Taimiyah (Wafat tahun 728): Maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat
Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah.[16]
Dengan dasar ini maka jihad yang
ditujukan untuk menampilkan dan menjunjung kebid’ahan dan yang dilakukan diluar
koridor dan ketentuan syariat islam, bukan dinamakan jihad syar’i. Dan
keyakinannya bahwa itu jihad dijalan Allah tidak akan bermanfaat. Oleh karena
itu wajib mengetahui jihad yang syar’i agar terhindar dari jihad yang bid’ah.
Ibnu Taimiyah memberikan pernyataan:Namun wajib mengetahui jihad syar’i yang
Allah dan RasulNya perintahkan, dari jihad bid’ah; jihadnya orang-orang sesat
yang berjihad dalam ketaatan syetan dengan keyakinan bahwa mereka berjihad
dalam ketaatan Allah, contohnya jihad pengekor hawa nafsu dan kebid’ahan
seperti Khowarij dan sejenisnya yang berjihad menghadapi kaum muslimin dan
orang yang lebih utama disisi Allah dan RasulNya dari pada mereka dari
kalangan Al Sabiqunal Awalin dan orang yang mengikuti mereka
dengan baik.
Kemudian beliau menyatakan kembali:
Mujahid fi sabilillah adalah orang yang berjihad untuk meninggikan kalimat
Allah dan menjadikan din (agama) seluruhnya untuk Allah, sebagaimana ada
dalam shohihain dari Abu Musa:
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ
حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً فَأَيُّ ذَلِكَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ
اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Seorang datang menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Seorang berjihad karena
fanatis dan berperang untuk menampakkan keberanian serta berperang untuk riya’,
maka mana yang fi sabilillah? Maka beliau menjawab: “Orang yang berperang untuk
meninggikan kalimat Allah maka ialah yang berada dijalan Allah.”[17]
Dan firman Allah:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا
يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan perangilah mereka, supaya
jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.(QS.
Al-Anfal: 39).
Jihad dengan lisan termasuk jihad
yang pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamlakukan,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
وَلَوْ
شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ
نَذِيراً * فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ
وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَاداً كَبِيراً
Dan andaikata Kami menghendaki,
benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan
(rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang besar. (QS.
Al-Furqan: 51-52)
Jika demikian, maka pada asalnya
jihad untuk menjadikan dien (agama) seluruhnya untuk Allah, dengan cara
menjadikan ibadah hanya kepadaNya saja sebagai agama (dien) yang tampak dan
menang dan menjadikan ibadah kepada selain Allah kalah lagi tertutup atau batil
dan hilang, sebagaimana ada pada kaum munafiqin dan ahli dzimmah. Karena tidak
mungkin jihad dilakukan sampai seluruh hati menjadi baik, lalu petunjuk hati
hanya ada ditangan Allah dan hanya ada ketika dien (agama) yang menang adalah
agama Allah sebagaimana firman Allah:
هُوَ
الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ
عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ
الْمُشْرِكُونَ
Dialah yang mengutus Rasul-Nya
(dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk
dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak
menyukainya.(QS. At-Taubah: 33)
Telah dimaklumi bahwa lawan agama
yang terbesar adalah syirik, sehingga memerangi
orang musyrik termasuk jihad yang terbesar, sebagaimana yang ada pada
jihad Al Sabiqun Al Awalun. Dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ
قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا
فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Orang yang berperang untuk
meninggikan kalimat Allah maka ialah yang berada dijalan Allah.
Kalimat Allah disini apabila yang
dimaksud adalah kata itu sendiri maka ia bermakna tauhid “La Ilaha
Illa Allah” sehingga hal ini termasuk dalam kandungan ayat. Dan
apabila yang dimaksud adalah jenisnya maka bermakna perkataan Allah dan
RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu adalah
perkataan tertinggi atas yang lainnya dan itu adalah Al Qur’an kemudian As
Sunnah. Maka siapa yang berpendapat dengan perkataan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan memerintah dengan perintahnya serta melarang
dari larangannya maka ia telah meninggikan kalimat Allah dan siapa yang berpendapat
menyelisihi hal itu baik perkataan yang menyelisihi perkataan RasulullahShallallahu
‘alaihi wa sallam maka ia yang pantas untuk diperangi. [18]
Ketentuan keempat
Jihad Al Tholab dan Dakwah hanya
dilakukan pada keadaan kuat dan mampu, karena jihad merupakan bagian dari
ibadah dan ibadah tidak diwajibkan kecuali bagi yang mampu, sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah:
لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا
وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 286)
Juga firmanNya:
فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْراً لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ
يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maka bertaqwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah
nafkah yang baik untuk dirimu. (QS. At-Taghabun: 16)
Juga sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
دَعُونِي
مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Biarkanlah aku atas apa yang aku
tinggalkan pada kalian, sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian
disebabkan pertanyaan mereka dan penyelisihan mereka terhadap para nabi.
Sehingga apabila aku telah melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah dan jika
aku perintahkan satu perintah maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian.[19]
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah
menyatakan: Para ulama sepakat menyatakan bahwa ibadah tidak diwajibkan kecuali
pada orang yang mampu.[20]
Oleh karena itu Lajnah
Daimah Lil Buhuts Al Islamiyah Wal Ifta (Komite tetap untuk penelitian
islam dan fatwa) Saudi Arabia berfatwa: Al Jihad untuk meninggikan kalimat
Allah, melindungi islam, memudahkan penyampaian dan penyebaran Islam dan
menjaga kesuciannya adalah fardhu (wajib) atas orang yang mampu dan sanggup
melakukannya, namun hal itu harus dengan mengirim tentara dan mengaturnya,
karena khawatir kacau balau dan terjadi hal-hal yang tidak baik. Oleh karena
itu, yang memulai dan mencampurinya adalah urusan para penguasa kaum muslimin.
Sehingga Para ulama wajib memotivasi para penguasa untuk itu. Apabila penguasa
telah memulai dan mengerahkan kaum muslimin, maka bagi yang mampu berperang
wajib memenuhi panggilan tersebut dengan mengikhlaskan niat hanya mengharap
wajah Allah dan berharap dapat membela kebenaran serta melindungi islam. Siapa
yang tidak ikut serta padahal ada seruan dan tidak ada udzur maka ia
berdosa.[21]
Sedangkan Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al Utsaimin (wafat tahun 1421 H) menyatakan: Jihad harus dengan syarat
yaitu kaum muslimin memiliki kemampuan dan kekuatan yang memungkinkan mereka
dapat berperang. Karena apabila mereka tidak memiliki kemampuan maka melibatkan
diri mereka dalam peperangan merupakan upaya bunuh diri. Oleh karena itu Allah
tidak mewajibkan kaum muslimin berperang ketika mereka di Makkah, karena mereka
tidak mampu dan lemah, lalu ketika mereka telah berhijroh ke Madinah dan
membentuk negara islam dan memiliki kekuasaan, maka mereka diperintahkan untuk
berperang. Atas dasar ini maka harus dengan syarat ini dan bila tidak ada, maka
hilanglah kewajiban tersebut dari mereka seperti kewajiban-kewajiban lainnya,
karena seluruh kewajiban disyaratkan padanya kemampuan.[22]
Ketentuan inipun dikuatkan dengan
beberapa hal berikut:
1. Firman Allah:
1. Firman Allah:
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah,
musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS.
Al-Anfal: 60)
Ayat ini menunjukan perlunya
persiapan dan kekuatan sebelum berperang dan berjihad. Oleh karena itu, jihad berperang
disyariatkan secara bertahap dalam beberapa marhalah.
2. Allah
mensyaratkan jumlah tertentu untuk kewajiban berperang yaitu seorang muslim
berhadapan dengan dua orang, sebagaimana firmanNya:
لَا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ
إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ
طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika ada di
antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS.
Al-Anfal: 66)
Sehingga tidak diwajibkan memerangi
orang kafir dalam jihad Al Tholab apabila mereka lebih banyak dari kelipatan
tersebut. Namun dalam jihad Al Daf’u hal ini tidak disyaratkan sebagaimana
kejadian perang Uhud dan Khondak.
3. Di antara
dalil yang menunjukkan syarat kemampuan dalam berjihad adalah hadits Al Nuwaas
bin Sam’aan radhiyallohu ‘anhu yang cukup panjang tentang
kisah Dajjal dan turunnya nabi Isa Al Masih ‘alaihis salaam. Di
antara isinya adalah:
إِذْ
أَوْحَى اللَّهُ إِلَى عِيسَى
إِنِّي قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَادًا
لِي لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ
بِقِتَالِهِمْ فَحَرِّزْ عِبَادِي إِلَى الطُّورِ وَيَبْعَثُ
اللَّهُ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ
حَدَبٍ يَنْسِلُونَ فَيَمُرُّ أَوَائِلُهُمْ عَلَى بُحَيْرَةِ طَبَرِيَّةَ
فَيَشْرَبُونَ مَا فِيهَا وَيَمُرُّ
آخِرُهُمْ فَيَقُولُونَ لَقَدْ كَانَ بِهَذِهِ
مَرَّةً مَاءٌ وَيُحْصَرُ نَبِيُّ
اللَّهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ حَتَّى
يَكُونَ رَأْسُ الثَّوْرِ لِأَحَدِهِمْ
خَيْرًا مِنْ مِائَةِ دِينَارٍ
لِأَحَدِكُمْ الْيَوْمَ فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللَّهِ عِيسَى
وَأَصْحَابُهُ فَيُرْسِلُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ النَّغَفَ
فِي رِقَابِهِمْ فَيُصْبِحُونَ فَرْسَى كَمَوْتِ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ ثُمَّ يَهْبِطُ نَبِيُّ
اللَّهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ إِلَى
الْأَرْضِ فَلَا يَجِدُونَ فِي
الْأَرْضِ مَوْضِعَ شِبْرٍ إِلَّا مَلَأَهُ
زَهَمُهُمْ وَنَتْنُهُمْ
Tiba-tiba Allah wahyukan kepada
Isa bahwa Sungguh Aku (Allah) telah mengeluarkan hamba ciptaanKu yang tidak
sanggup seorang pun memerangi mereka. Maka berlindunglah wahai hambaKu ke bukit
Thur. Lalu Allah mengirim Ya’juj dan Ma’juj dalam keadaan berjalan cepat dari
semua arah, lalu kelompok pertama mereka melewati danau Thobariyah lalu meminum
semua isinya dan kelompok akhir mereka melewati danau tersebut lalu mengatakan:
dahulu pernah ada air disini. Nabi Isa dan sahabat-sahabatnya terkepung sampai
kepala sapi jantan lebih berharga bagi seorang dari mereka dari seratus dinar
milik salah seorang dari kalian sekarang ini. Lalu Nabi Isa dan para sahabatnya
memohon kepada Allah. Kemudian Allah kirim ulat (yang biasa ada pada onta yang
berpenyakit) pada leher-leher mereka sehingga mereka menjadi mayat-mayat yang
bergelimpangan seperti kematian satu jiwa. Kemudian Nabi Isa dan para
sahabatnya turun (dari bukit) ke daratan dan tidak mendapatkan satu jengkal pun
di tanah kecuali dipenuhi oleh mayat dan bau busuk mereka.[23]
Dalam hadits ini ada petunjuk bahwa
ketika nabi Isa dan kaum mukminin yang bersamanya tidak memiliki kemampuan
untuk memerangi Ya’juj dan Ma’juj, maka Allah perintahkan mereka untuk tidak
memerangi mereka, lalu bagaimana keadaan umat islam yang dalam keadaan lemah
kekuatan dan kemampuannya?[24]
Jihad harus melihat keadaan kuat
dan lemahnya kaum muslimin. Oleh karena itu Syaikh Abdurrazaq Al ‘Abaad
menyatakan: Hendaknya jihad fi sabilillah dilaksanakan sesuai kuat dan lemahnya
keadaan kaum muslimin, karena keadaan kaum muslimin berbeda-beda sesuai zaman
dan tempat.
No comments:
Post a Comment