SIAPA yang
tidak mengenal dengan sesosok manusia yang ummi, pembawa dan pencerah terhadap
peradaban manusia? Siapa lagi kalau bukan Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wassallam namanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam memang merupakan figur
yang pantas dipuji oleh siapa pun.
Sebab, beliau memiliki kesempurnaan, baik itu sifat, perilaku
maupun tutur kata. Banjiran pujian terhadap beliau tak akan pernah lekang
dimakan oleh zaman, bahkan sejak zaman para sahabat sekalipun pujian itu tetap
mengalir sehingga sekarang.
Perbincangan mengenai sosok ini tidak pernah membosankan dan tak
akan pernah habis-habisnya. Walaupun selalu diperingati mengenai diri beliau
setiap tahun, bahkan masih ada pembicaraan-pembicaraan yang belum terungkap dan
belum terlukiskan dari kehidupan beliau.
Kemuliaan dan kekaguman terhadap kepribadian Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassallam tidak hanya diapresiasi oleh orang Muslim saja.
Sebaliknya, orang non-Muslim sekalipun tidak terlepas dari kekaguman mereka di
saat mereka mempelajari kehidupan Rasulullah. Pengetahuan dan kajian mengenai
beliau pasti benar, selama seseorang itu berpegang teguh kepada prinsip yang
objektif.
Michael H. Hart misalnya, beliau menobatkan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassallam sebagai sosok di urutan yang pertama dari 100
tokoh manusia yang paling berpengaruh di dunia;
Di samping itu, George Bernard Shaw pula menyatakan bahwa Muhammad
merupakan sosok pribadi yang agung, sang penyelamat kemanusiaan. Lebih daripada
itu, ia sangat meyakini bahwa apabila Muhammad memegang kekuasaan tunggal di
dunia modern ini, maka Muhammad akan berhasil mengatasi segala permasalahan dan
ia mampu membawa kedamaian serta kebahagiaan yang dibutuhkan oleh dunia;
Lamar Tine (seorang sejarahwan terkemuka) menyatakan, jika kita
lihat dari tolok ukur kejeniusan seorang manusia, maka siapa lagi kalau bukan
Muhammad;
Dan tidak ketinggalan pula Thomas Carlyle menyatakan kekagumannya
terhadap Muhammad, karena Muhammad dengan sendirinya mampu mengubah suku-suku
yang saling berperang dan kaum nomaden menjadi sebuah bangsa yang paling maju
dan paling berperadaban hanya dalam waktu kurang daripada dua dekade. Dia
diciptakan untuk menerangi dunia, begitulah perintah sang pencipta dunia;
Begitu juga dengan W. Montgmery Watt yang menyatakan, tidak ada
figur yang hebat sebagaimana digambarkan “sangat buruk” di Barat selain
Muhammad. Orang yang menganggap Muhammad sebagai seorang penipu adalah orang
yang hanya memberikan masalah dan bukan jawaban.
Kalau di atas terdapat sebahagian daripada kekaguman-kekaguman
yang bersumber dari orang non-Muslim, yaitu bersumber daripada manusia, dan
tidak dipungkiri pula bahwa pujian-pujian terhadap beliau telah ditegaskan dan
dibuktikan oleh sang Pencipta sendiri.
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam seringkali dipanggil oleh Allah
Subhanahu Wata’ala dengan panggilan yang mesra di dalam Al-Qur’an. Seperti
kalimat yā ayyuhā “ yā ayyuhannabiy ” (wahai Nabi); yā ayyuha al-muddaththir
dan yā ayyuha al-muzzammil (wahai orang yang berselimut!), dan seterusnya.
Kalau pun beliau dipanggil nama, nama tersebut pastilah diiringi dengan gelar.
Seperti firman Allah: Muhammadun ‘ Rasūlulu’Llāh ‘ [Nabi Muhammad itu adalah
utusan Allah, Qs. al-Fatḥ: 29], wa mā Muhammadun illā ‘ Rasūl ‘ [Muhammad itu
tidak lain hanyalah seorang Rasul, Qs. Āli ‘Imrān: 144], wa mubasysyiran
‘birāsūlin’ ya’tī min ba‘dī ismuhū Aḥmad [Nabi Isa As berkata: ..…..dan
memberikan kabar gembira dengan kedatangan seorang Rasul yang akan datang
sesudahku yang bernama Ahmad, Qs al-Shaf: 6), dan lain sebagainya.
Hal yang demikian sangat berbeda dengan para utusan-utusan
(nabi-nabi) Allah Subhanahu Wata’ala yang lain. Toh bagaimana pun juga, ini
bukan mengindikasikan bahwasannya beliau dianak emaskan atau dimanjakan,
sehingga terbebas dari teguran-teguran ketika berbuat salah. Sebagaimana
diketahui bahwa Rasulullah juga tidak terlepas dari teguran-teguran, baik itu
berupa teguran yang keras maupun yang lembut. Namun, ketika beliau mendapat
teguran, Allah Swt telah mendahulukan teguran tersebut dengan kalimat “afa’Llāhu
‘anka”, yaitu Allah telah mengampuni kesalahannya terlebih dahulu [lihat Qs.
al-Tawbah: 43].
Alih-alih beliau memberikan izin kepada orang supaya tidak pergi
berperang [sebelum jelas keuzurannya] sebagaimana dijelaskan di dalam ayat di
atas tadi, pun tidak terhindar dari sebuah teguran. Barangkali perihal
pemberian izin ini telah melampaui keotoritasan pengetahuan Rasulullah. Bahkan
lebih daripada itu, perkara ‘kecil’ yang lumrah dan tidak bisa dihindari oleh
siapa pun, apalagi di dalam kehidupan manusia dewasa ini, seperti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wassallam berlaku ‘sinis’ (bermuka masam) kepada orang buta
yang datang kepadanya. Perlakuan sinis pun tidak terlepas dari sebuah teguran
[Lihat Qs. ‘Abasa].
Untuk konteks kekinian bagi kita, sikap yang hanya sekedar
‘bermuka masam’ kepada orang lain sudah dianggap dan sudah merupakan sikap yang
baik. Inilah bedanya antara manusia biasa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wassallam, karena beliau diberi wahyu. Semua sikap dan kepribadian Rasulullah
selalu dalam kontrol Allah Subhanahu Wata’ala . Jadi, apabila terdapat perilaku
yang kurang baik, beliau ditegur, mestinya bersikap lebih baik lagi. Karena
Allah Subhanahu Wata’ala ingin menjadikan kekasih-Nya sebagai suri tauladan
yang baik bagi umat manusia sekalian alam.
Atas dasar itu, ‘Abbas al-‘Aqqād dalam hal ini mengklasifikasi
sifat manusia menjadi empat macam. Di antaranya adalah pemikir, ahli ibadah,
pekerja, dan seniman. Seorang pemikir jarang yang menjadi pekerja (seperti kuli
bangunan, supir taksi, tukang ojek dan lain-lain). Dan sebaliknya, pekerja
jarang yang menjadi pemikir. Orang yang ahli ibadah (barangkali kesibukan atau
aktivitasnya di masjid atau musolla saja) pun tidak bisa menjadi pemikir. Dan
ahli ibadah juga, jarang yang menjadi seniman. Tetapi, Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wassallam bahkan melampaui itu semua. Dengan demikian, tidaklah heran kalau di
dalam diri beliau terdapat suri tauladan yang baik yang patut dicontoh. Namun,
yang dituntut dari kita adalah hendaknya meneladani beliau dengan cara yang
cerdas. Wa’Llāhu a‘lam biṣṣawāb.*
No comments:
Post a Comment