Sungguh para ulama’ telah berselisih pendapat dalam menjelaskan arti takwa, tetapi masih berputar pada satu makna. Yaitu, hendaknya seorang hamba membuat benteng yang melindunginya dari murka dan siksa Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Al-Hafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Asli makna takwa hendaknya seorang hamba menjadikan antara dirinya dengan apa yang ditakuti dan diwaspadainya suatu benteng yang melindunginya dari hal tersebut. Ketakwaan seorang hamba kepada Rabbnya hendaknya ia menjadikan antara dirinya dengan apa yang ditakuti dari Rabbnya berupa kemarahan, kemurkaan dan siksa-Nya suatu benteng yang melindunginya dari hal tersebut. Yaitu dengan melaksanakan ketaatan dan meninggalkan maksiat kepada-Nya.”
Terkadang kata takwa disandarkan kepada nama Allah, seperti firman-Nya,
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan. (QS. Al Mujaadilah: 9).
Allah juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr: 18).
Jika takwa disandarkan kepada Allah maknanya: takutlah murka dan siksa-Nya –dan Dia yang paling agung untuk ditakuti- yang dari keduanya menyebabkan siksa dunia dan akhirat. Allah berfirman,
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali ‘Imran: 28). Allah berfirman,
هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ
Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun. (QS. Al-Muddatsir: 56). Allah adalah dzat yang patut untuk ditakuti, dimuliakan, dijunjung tinggi dan diagungkan pada dada para hamba-Nya. Sehingga mereka menyembah-Nya, mentaati-Nya dikarenakan Dia berhak mendapat pengagungan, pemuliyaan, dan memiliki sifat-sifat kesombongan, keagungan, kuatnya adzab dan kerasnya hukuman.
Terkadang takwa disandarkan pada hukuman atau tempatnya seperti neraka atau kepada waktu seperti hari kiamat. Sebagaimana firman Allah,
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. Al- ‘Imran: 131). Allah berfirman,
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 281). Allah berfirman,
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.” (QS. Al-Baqarah: 48).
Termasuk takwa yang sempurna melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang haram dan syubhat, bisa jadi setelah itu masuk kategori takwa melaksanakan hal-hal yang dianjurkan dan meninggalkan hal-hal yang makruh. Hal itu adalah derajat takwa paling tinggi, Allah berfirman,
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 1-4). Allah berfirman,
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).
Ibnul Qoyyim berkata: Hakikat takwa adalah beramal ketaatan kepada Allah dengan penuh keimanan dan ihtisab (mengaharap pahala) dalam melaksanakan perintah maupun meninggalkan larangan. Melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dengan penuh keimanan terhadap amal tersebut dan dengan pembenaran sepenuhnya akan janji Allah (bagi yang melaksanakan perintah-Nya akan mendapat balasan). Dan meninggalkan apa yang dilarang Allah dengan penuh keimanan terhadap larangan tersebut diiringi rasa takut terhadap ancaman-Nya. Sebagaimana perkataan Thalaq bin Hubaib: Jika terjadi fitnah padamkanlah dengan takwa. Ada yang berkata: apa itu takwa? Ia berkata: Engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah mengharap pahala-Nya. Dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah takut hukuman-Nya.
Ini adalah yang terbaik dalam menjelaskan batasan takwa. Sungguh setiap amal harus ada dasar dan tujuan. Amal tidak akan menjadi ketaatan dan pendekatan diri (kepada Allah) hingga bersumber dari iman, pendorongnya semata-mata keimanan bukan kebiasaan, hawa nafsu mencari pujian dan kedudukan atau selainnya tetapi dasarnya murni keimanan, tujuannya pahala dari Allah dan mengharap keridhaan Allah dan itulah ihtisab. Oleh karena itu banyak nash membedakan dua asas ini seperti sabda Nabi Muhammad, “Barangsiapa yang berpuasa ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala” , “Barangsiapa shalat pada laitatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala” dan yang semisal dengannya.
Perkataannya “di atas cahaya dari Allah” isyarat kepada asas pertama yaitu asas amal dan sebab pendorong perbuatan.
Perkataannya “mengharap pahala dari Allah” isyarat kepada asas yang kedua yaituihtisab, yaitu tujuan yang karenanya dikerjakan amal dan dimaksudkan untuk hal tersebut.
Takwa memiliki tiga tingkatan
Pertama: takut dari adzab yang kekal dengan meninggalkan syirik, dasarnya firman Allah,
وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى
“dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa” (QS. Al-Fath: 26)
Kedua: menghindarkan diri dari setiap dosa baik dalam hal melakukan (maksiat) atau meninggalkan (perintah) sampaipun dosa-dosa kecil menurut pendapat suatu kaum, itulah pengertian takwa secara syar’i. Hal tersebut adalah makna firman Allah,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa” (QS. Al-A’raf: 96). Demikian juga perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz: Takwa adalah meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan melaksanakan apa-apa yang diperintahkan-Nya, adapun yang dirizkikan Allah setelah itu merupakan (tambahan) kebaikan di atas kebaikan.
Ketiga: membersihkan diri dari hal-hal yang menyibukkan batinnya dari (mengingat) Allah. Inilah hakikat takwa yang dituntut dalam firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS. Ali ‘Imran: 102). Ibnu ‘Umar berkata: Jangan engkau memandang dirimu lebih baik dari seseorang pun.
Secara umum makna takwa di dalam Al-Qur’an ada tiga macam;
Pertama: bermakna takut dan segan. Allah berfirman,
وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
“dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 41). Allah berfirman,
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 281)
Kedua: bermakna taat dan ibadah. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS. Ali ‘Imran: 102). Ibnu ‘Abbas berkata: Taatilah Allah dengan sebenar-benarnya taat. Mujahid berkata: Hendaknya Allah ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.
Ketiga: bermakna membersihkan hati dari dosa. Inilah hakikat takwa bukan dua makna yang terdahulu. Tidakkah engkau melihat firman Allah,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan” (QS. An-Nuur: 52). Allah menyebut kata taat dan takut kemudian takwa, maka engkau mengetahui bahwa hakikat takwa bermakna selain taat dan takut.
Tingkatan takwa ada tiga;
Pertama : bertakwa dari syirik
Kedua: bertakwa dari bid’ah
Ketiga: bertakwa dari cabang-cabang maksiat
Sungguh benar-benar Allah telah menyebut ketiganya dalam satu ayat, yaitu firman Allah,
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maa’idah: 93)
Takwa yang pertama adalah bertakwa dari syirik, dan (makna) iman (pada ayat di atas) setelah kata takwa (yang pertama) adalah tauhid. Takwa yang kedua adalah bertakwa dari bid’ah, iman yang disebut bersamanya (kata takwa yang kedua) adalah pernyataan janji setia terhadap as-sunnah dan al-jama’ah. Takwa yang ketiga adalah bertakwa dari cabang-cabang maksiat, pernyataan pada tingkatan ini dihadapkan pada ihsan, yaitu taat dan istiqamah dalam membersihkan hati, sehingga (takwa pada tingkatan ini) merupakan tingkatannya orang-orang yang istiqamah dalam menjalankan ketaatan. Ayat di atas terkumpul tiga tingkatan tersebut; tingkatan iman, tingkatan sunnah dan tingkatan istiqamah dalam ketaatan.
Berikut perkataan para ulama’ tentang takwa, macam-macamnya dan penjelasan tingkatan-tingkatannya.
Penyebutan takwa luas sebagaimana telah dipaparkan (di atas) dan kondisi manusia dalam hal takwa tidak menyelisihi hal tersebut. Ada sebagian manusia membentengi dirinya dari kekal di neraka, yaitu dengan bertauhid dan membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi ia tidak membentengi dirinya dari masuk neraka secara keseluruhan. Ia meremehkan kewajiban-kewajiban dan melakukan hal-hal yang diharamkan. Padahal (melaksanakan kewajiban dan menjauhi perkara yang diharamkan) bagian dari takwa meskipun tingkatannya paling rendah. Maka pelakunya tidak berhak menyandang nama takwa secara mutlak. Karena ia menentang adzab sehingga berhak mendapat hukuman jika tidak mendapat rahmat dari Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa di bawah syirik bagi yang dikehendaki-Nya.
Sebagian manusia yang lain membentengi dirinya dari kekufuran dan dosa-dosa besar, senantiasa taat, melaksanakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan hal-hal yang diharamkan dari dosa-dosa besar hanya saja ia tidak menjauhkan diri dari dosa-dosa kecil dan tidak memperbanyak ibadah sunnah. Tidak ragu bahwa ia lebih dekat kepada kemenangan. Berdasarkan firman Allah,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisaa’: 31).
Dan sabda Nabi: Shalat fardhu yang lima, (ibadah) dari jum’at ke jum’at dan (ibadah) dari ramadhan ke ramadhan merupakan penghapus (dosa-dosa kecil) yang dilakukan antara keduanya selama menjauhi kabair (dosa-dosa besar). Hanya saja ia tidak membuat benteng yang sempurna dari neraka, karena ia hanya mencukupkan diri dengan perkara-perkara yang wajib dan jatuh pada dosa-dosa kecil yang dikawatirkan akan mendorongnya pada dosa-dosa besar. Ia tidak memiliki ibadah-ibadah sunnah juga tidak menjauhi perkara-perkara syubhat dan makruh yang dengan (memiliki ibadah sunnah dan menjauhi perkara syubhat dan makruh) akan sempurna ketakwaan seorang hamba.
Oleh karenanya Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS. Ali ‘Imran: 102).
Takwa yang sebenarnya adalah hendaknya seorang hamba bersungguh-sungguh meninggalkan dosa yang kecil maupun yang besar dan bersungguh-sungguh dalam seluruh ketaatan berupa kewajiban-kewajiban maupun perkara-perkara sunnah menurut kesanggupannya. Semoga banyak mengamalkan perkara-perkara sunnah bisa menggantikan apa yang kurang dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang ringan, menjadi benteng yang kokoh antara hamba dengan dosa-dosa besar. Sebagaimana firman Allah,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu “ (QS. At-Taghabun: 16).
Inilah yang berhak menyandang nama muttaqi (orang yang bertakwa). Dia bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan meninggalkan perkara-perkara haram sampai ia meninggalkan apa yang tidak ada faidahnya untuk memelihara dirinya dari perkara yang membahyakannya. Itulah takwa yang perkataan salaf berputar padanya. Abu Ad-Darda’ berkata: Takwa yang sempurna adalah seorang hamba bertakwa kepada Allah sampai ia membentengi dirinya dengan (amalan) seberat dzarrah dan sampai ia meninggalkan sebagian apa yang dipandang halal khawatir (ternyata) haram.
Ats-Tsauri berkata: Mereka disebut muttaqin karena mereka bertakwa dengan perkara-perkara yang tidak bisa untuk membentengi.
Musa bin A’yun berkata: Orang-orang yang bertakwa membersihkan diri dari hal-hal yang halal karena takut jatuh pada hal-hal yang haram maka Allah menyebut mereka muttaqin.
Maimun bin Mihran berkata: Orang yang bertakwa lebih teliti mengoreksi dirinya daripada sekutu terhadap sekutunya. Sungguh Abu Hurairah pernah ditanya tentang takwa, beliau berkata: Pernahkah engkau melewati jalan berduri? Penanya menjawab: ya. Beliau berkata: apa yang kamu lakukan? Ia berkata: aku menyingkirkannya atau melewatinya (dengan hati-hati) atau meninggalkannya. Beliau berkata: itulah takwa. Sungguh ibnu Al-Mu’tamir mengambil makna ini dan berkata:
Bersihkan dosa yang kecil dan yang besar itulah takwa
Berbuatlah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri waspada pada apa yang dilihat
Jangan menyepelekan dosa kecil, sesungguhnya gunung tersusun dari kerikil
Imam Ahmad berkata: Takwa adalah meninggalkan hasrat hafsu untuk mendapat (ridha) yang kamu takuti (Allah). Dikatakan: Takwa yaitu takut terhadap Yang Maha Tinggi, bersiap-siap untuk menyongsong hari keberangkatan (ke akhirat) dan beramal dengan apa yang diturunkan (Al-Qur’an). Dan dikatakan: Takwa adalah Allah Ta’ala tidak melihatmu ketika Dia melarangmu dan tidak kehilangan kamu ketika memerintahkanmu.
No comments:
Post a Comment