Apakah Itu Jihad Dan Syarat-syarat Berjihad Dalam Islam


Semua bentuk ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat, zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi sebagai berikut :
1. Islam
Syarat pertama dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain, hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam ibadah jihad.
Orang kafir tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah berikut ini :
أَنَّ رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang musyrik”.(HR. Muslim)
2. Berakal
Syarat kedua untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat, puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah jihad fi sabilillah.
Rasulullah SAW bersabda :
Telah diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
3. Baligh
Syarat ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
4. Laki-laki
Syarat keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara langsung.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال : جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)
5. Kemampuan Finansial
Jihad adalah ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara lain :
a. Nafkah
Yang dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk dikerjakan.
Bekerja mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
b. Biaya Perjalanan
Berangkat jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka ikut serta.
Ini menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
c. Senjata dan Perlengkapan
Hal yang lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal : 60)
Baju besi Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47 buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
6. Kekuatan Jasad dan Kesehatan
Jihad adalah perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS. Al-Fath : 17)
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. At-Taubah : 91)
B. Izin Berjihad
Seorang yang telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah, diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang berkompeten.
Pihak-pihak yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan imam atau pemimpin.
1. Izin Orang Tua
Seorang mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua yang muslim.
Namun bila perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
a. Dasar Masyru’iyah
Keharusan mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada hadits nabawi :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
Seseorang telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih diutamakan.
Hadits ini sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi, tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang untuknya selain kamu.
b. Orang Tua Kafir
Namun bila seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut jumhur ulama.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah, keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
c. Mencabut Izin
Para ulama menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari kedua orang tua.
Contoh pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua, karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut berjihad.
Dalam hal ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
2. Izin Pemberi Hutang
Bila seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama, dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang kepada manusia.
Seandainya hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya, apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid) dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang. Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya. (HR. Bukhari)
Dan Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
3. Izin Imam
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam, atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah. Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat. Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih dahulu dari imam.


Semua bentuk ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat, zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi sebagai berikut :
1. Islam
Syarat pertama dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain, hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam ibadah jihad.
Orang kafir tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah berikut ini :
أَنَّ رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang musyrik”.(HR. Muslim)
2. Berakal
Syarat kedua untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat, puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah jihad fi sabilillah.
Rasulullah SAW bersabda :
Telah diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
3. Baligh
Syarat ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
4. Laki-laki
Syarat keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara langsung.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال : جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)
5. Kemampuan Finansial
Jihad adalah ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara lain :
a. Nafkah
Yang dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk dikerjakan.
Bekerja mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
b. Biaya Perjalanan
Berangkat jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka ikut serta.
Ini menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
c. Senjata dan Perlengkapan
Hal yang lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal : 60)
Baju besi Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47 buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
6. Kekuatan Jasad dan Kesehatan
Jihad adalah perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS. Al-Fath : 17)
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. At-Taubah : 91)
B. Izin Berjihad
Seorang yang telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah, diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang berkompeten.
Pihak-pihak yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan imam atau pemimpin.
1. Izin Orang Tua
Seorang mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua yang muslim.
Namun bila perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
a. Dasar Masyru’iyah
Keharusan mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada hadits nabawi :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
Seseorang telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih diutamakan.
Hadits ini sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi, tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang untuknya selain kamu.
b. Orang Tua Kafir
Namun bila seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut jumhur ulama.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah, keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
c. Mencabut Izin
Para ulama menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari kedua orang tua.
Contoh pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua, karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut berjihad.
Dalam hal ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
2. Izin Pemberi Hutang
Bila seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama, dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang kepada manusia.
Seandainya hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya, apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid) dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang. Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya. (HR. Bukhari)
Dan Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
3. Izin Imam
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam, atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah. Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat. Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih dahulu dari imam.
Semua bentuk ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat, zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi sebagai berikut :
1. Islam
Syarat pertama dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain, hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam ibadah jihad.
Orang kafir tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah berikut ini :
أَنَّ رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang musyrik”.(HR. Muslim)
2. Berakal
Syarat kedua untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat, puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah jihad fi sabilillah.
Rasulullah SAW bersabda :
Telah diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
3. Baligh
Syarat ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
4. Laki-laki
Syarat keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara langsung.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال : جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)
5. Kemampuan Finansial
Jihad adalah ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara lain :
a. Nafkah
Yang dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk dikerjakan.
Bekerja mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
b. Biaya Perjalanan
Berangkat jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka ikut serta.
Ini menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
c. Senjata dan Perlengkapan
Hal yang lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal : 60)
Baju besi Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47 buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
6. Kekuatan Jasad dan Kesehatan
Jihad adalah perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS. Al-Fath : 17)
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. At-Taubah : 91)
B. Izin Berjihad
Seorang yang telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah, diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang berkompeten.
Pihak-pihak yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan imam atau pemimpin.
1. Izin Orang Tua
Seorang mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua yang muslim.
Namun bila perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
a. Dasar Masyru’iyah
Keharusan mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada hadits nabawi :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
Seseorang telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih diutamakan.
Hadits ini sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi, tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang untuknya selain kamu.
b. Orang Tua Kafir
Namun bila seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut jumhur ulama.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah, keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
c. Mencabut Izin
Para ulama menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari kedua orang tua.
Contoh pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua, karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut berjihad.
Dalam hal ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
2. Izin Pemberi Hutang
Bila seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama, dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang kepada manusia.
Seandainya hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya, apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid) dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang. Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya. (HR. Bukhari)
Dan Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
3. Izin Imam
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam, atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah. Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat. Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih dahulu dari imam.
Semua bentuk ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat, zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi sebagai berikut :
1. Islam
Syarat pertama dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain, hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam ibadah jihad.
Orang kafir tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah berikut ini :
أَنَّ رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang musyrik”.(HR. Muslim)
2. Berakal
Syarat kedua untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat, puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah jihad fi sabilillah.
Rasulullah SAW bersabda :
Telah diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
3. Baligh
Syarat ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
4. Laki-laki
Syarat keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara langsung.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال : جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)
5. Kemampuan Finansial
Jihad adalah ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara lain :
a. Nafkah
Yang dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk dikerjakan.
Bekerja mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
b. Biaya Perjalanan
Berangkat jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka ikut serta.
Ini menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
c. Senjata dan Perlengkapan
Hal yang lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal : 60)
Baju besi Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47 buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
6. Kekuatan Jasad dan Kesehatan
Jihad adalah perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS. Al-Fath : 17)
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. At-Taubah : 91)
B. Izin Berjihad
Seorang yang telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah, diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang berkompeten.
Pihak-pihak yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan imam atau pemimpin.
1. Izin Orang Tua
Seorang mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua yang muslim.
Namun bila perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
a. Dasar Masyru’iyah
Keharusan mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada hadits nabawi :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
Seseorang telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih diutamakan.
Hadits ini sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi, tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang untuknya selain kamu.
b. Orang Tua Kafir
Namun bila seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut jumhur ulama.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah, keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
c. Mencabut Izin
Para ulama menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari kedua orang tua.
Contoh pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua, karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut berjihad.
Dalam hal ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
2. Izin Pemberi Hutang
Bila seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama, dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang kepada manusia.
Seandainya hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya, apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid) dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang. Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya. (HR. Bukhari)
Dan Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
3. Izin Imam
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam, atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah. Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat. Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih dahulu dari imam.
Semua bentuk ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat, zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi sebagai berikut :
1. Islam
Syarat pertama dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain, hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam ibadah jihad.
Orang kafir tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah berikut ini :
أَنَّ رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang musyrik”.(HR. Muslim)
2. Berakal
Syarat kedua untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat, puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah jihad fi sabilillah.
Rasulullah SAW bersabda :
Telah diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
3. Baligh
Syarat ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
4. Laki-laki
Syarat keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara langsung.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال : جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)
5. Kemampuan Finansial
Jihad adalah ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara lain :
a. Nafkah
Yang dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk dikerjakan.
Bekerja mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
b. Biaya Perjalanan
Berangkat jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka ikut serta.
Ini menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
c. Senjata dan Perlengkapan
Hal yang lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal : 60)
Baju besi Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47 buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
6. Kekuatan Jasad dan Kesehatan
Jihad adalah perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS. Al-Fath : 17)
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. At-Taubah : 91)
B. Izin Berjihad
Seorang yang telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah, diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang berkompeten.
Pihak-pihak yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan imam atau pemimpin.
1. Izin Orang Tua
Seorang mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua yang muslim.
Namun bila perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
a. Dasar Masyru’iyah
Keharusan mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada hadits nabawi :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
Seseorang telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih diutamakan.
Hadits ini sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi, tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang untuknya selain kamu.
b. Orang Tua Kafir
Namun bila seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut jumhur ulama.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah, keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
c. Mencabut Izin
Para ulama menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari kedua orang tua.
Contoh pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua, karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut berjihad.
Dalam hal ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
2. Izin Pemberi Hutang
Bila seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama, dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang kepada manusia.
Seandainya hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya, apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid) dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang. Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya. (HR. Bukhari)
Dan Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
3. Izin Imam
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam, atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah. Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat. Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih dahulu dari imam.
Semua bentuk ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat, zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi sebagai berikut :
1. Islam
Syarat pertama dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain, hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam ibadah jihad.
Orang kafir tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah berikut ini :
أَنَّ رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang musyrik”.(HR. Muslim)
2. Berakal
Syarat kedua untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat, puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah jihad fi sabilillah.
Rasulullah SAW bersabda :
Telah diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
3. Baligh
Syarat ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
4. Laki-laki
Syarat keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara langsung.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال : جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)
5. Kemampuan Finansial
Jihad adalah ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara lain :
a. Nafkah
Yang dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk dikerjakan.
Bekerja mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
b. Biaya Perjalanan
Berangkat jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka ikut serta.
Ini menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
c. Senjata dan Perlengkapan
Hal yang lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal : 60)
Baju besi Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47 buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
6. Kekuatan Jasad dan Kesehatan
Jihad adalah perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS. Al-Fath : 17)
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. At-Taubah : 91)
B. Izin Berjihad
Seorang yang telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah, diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang berkompeten.
Pihak-pihak yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan imam atau pemimpin.
1. Izin Orang Tua
Seorang mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua yang muslim.
Namun bila perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
a. Dasar Masyru’iyah
Keharusan mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada hadits nabawi :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
Seseorang telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih diutamakan.
Hadits ini sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi, tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang untuknya selain kamu.
b. Orang Tua Kafir
Namun bila seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut jumhur ulama.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah, keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
c. Mencabut Izin
Para ulama menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari kedua orang tua.
Contoh pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua, karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut berjihad.
Dalam hal ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
2. Izin Pemberi Hutang
Bila seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama, dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada beban hutang kepada manusia.
Seandainya hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya, apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid) dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang. Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya. (HR. Bukhari)
Dan Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
3. Izin Imam
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam, atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah. Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat. Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih dahulu dari imam.

No comments:

Adbox

@templatesyard