Semua bentuk
ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang
disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat,
zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi
sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi
nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk
itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah
mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi
sebagai berikut :
Syarat pertama
dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah
Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak
ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain,
hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam
rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka
yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau
kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah
dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan
sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan
Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di
jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam
ibadah jihad.
Orang kafir
tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah
berikut ini :
أَنَّ
رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ
فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari
musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah
SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang
musyrik”.(HR. Muslim)
Syarat kedua
untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang
tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau
lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad
atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab
perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada
mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi
secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang
yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat,
puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah
jihad fi sabilillah.
Rasulullah
SAW bersabda :
Telah
diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
Syarat
ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang
diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang
masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk
melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ
أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu
Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat
Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam
pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya
Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita
mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum
cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin
untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada
Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah
bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini
menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang
telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya
fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi
diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun
mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung
dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau
sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
Syarat
keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk
berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban
berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun
bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita
tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara
langsung.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال :
جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk
berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada
pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu
Khuzaimah)
Jihad adalah
ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi
termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang
berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara
lain :
Yang
dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga
untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi
seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap
wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban
memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada
pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang
laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada
orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak
punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia
mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk
dikerjakan.
Bekerja
mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah
menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya
bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh
nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang
ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah
ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
Berangkat
jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga
untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya
menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana
semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang
tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana
harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit
terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga
menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan
pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama
tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا
أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada
berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu
memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para
shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati
ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya
harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka
ikut serta.
Ini
menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan
perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan
kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah
bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
Hal yang
lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab
jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa
senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah
pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu
persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT
mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk
dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk
barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal :
60)
Baju besi
Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang
dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk
hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga
senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47
buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya
bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab
percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
Jihad adalah
perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan
sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang
badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin
untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya
sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ
عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ
حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah
akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan
barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS.
Al-Fath : 17)
لَيْسَ
عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ
مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
(QS. At-Taubah : 91)
Seorang yang
telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah,
diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang
berkompeten.
Pihak-pihak
yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan
imam atau pemimpin.
Seorang
mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah
mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah
satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua
yang muslim.
Namun bila
perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang
perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu
izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
Keharusan
mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada
hadits nabawi :
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ
الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا
فَجَاهِدْ
Seseorang
telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka
beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia
menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada
keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini
memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada
berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata
berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih
diutamakan.
Hadits ini
sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah
SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila
telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang
mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan
berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak
bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena
itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi,
tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ
أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah
kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang
untuknya selain kamu.
Namun bila
seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya
ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut
jumhur ulama.
Dasarnya
adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika
mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang
kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara
para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum
beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah,
keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
Para ulama
menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari
kedua orang tua.
Contoh
pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat
berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan
pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan
pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh
kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua,
karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah
berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut
berjihad.
Dalam hal
ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua
orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari
jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
Bila
seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh
berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya
itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang
kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain,
sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang
yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya
belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang
dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama,
dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban
hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas
hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada
beban hutang kepada manusia.
Seandainya
hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama
sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib
didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda
pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya,
apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya
adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ
رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ
إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ
إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi
Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW
dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan
dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid)
dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang.
Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang
lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari
Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang
banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan
sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا
زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat
terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya.
(HR. Bukhari)
Dan
Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ
أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا
قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah
kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak
berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan
ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam,
atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab
keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai
dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah.
Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat.
Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih
dahulu dari imam.
Semua bentuk
ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang
disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat,
zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi
sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi
nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk
itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah
mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi
sebagai berikut :
Syarat pertama
dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah
Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak
ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain,
hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam
rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka
yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau
kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah
dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan
sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan
Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di
jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam
ibadah jihad.
Orang kafir
tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah
berikut ini :
أَنَّ
رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ
فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari
musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah
SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang
musyrik”.(HR. Muslim)
Syarat kedua
untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang
tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau
lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad
atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab
perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada
mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi
secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang
yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat,
puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah
jihad fi sabilillah.
Rasulullah
SAW bersabda :
Telah
diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
Syarat
ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang
diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang
masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk
melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ
أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu
Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat
Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam
pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya
Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita
mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum
cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin
untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada
Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah
bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini
menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang
telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya
fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi
diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun
mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung
dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau
sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
Syarat
keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk
berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban
berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun
bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita
tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara
langsung.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال :
جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk
berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada
pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu
Khuzaimah)
Jihad adalah
ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi
termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang
berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara
lain :
Yang
dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga
untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi
seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap
wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban
memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada
pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang
laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada
orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak
punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia
mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk
dikerjakan.
Bekerja
mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah
menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya
bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh
nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang
ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah
ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
Berangkat
jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga
untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya
menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana
semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang
tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana
harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit
terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga
menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan
pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama
tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا
أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada
berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu
memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para
shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati
ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya
harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka
ikut serta.
Ini
menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan
perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan
kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah
bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
Hal yang
lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab
jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa
senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah
pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu
persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT
mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk
dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk
barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal :
60)
Baju besi
Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang
dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk
hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga
senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47
buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya
bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab
percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
Jihad adalah
perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan
sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang
badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin
untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya
sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ
عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ
حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah
akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan
barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS.
Al-Fath : 17)
لَيْسَ
عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ
مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
(QS. At-Taubah : 91)
Seorang yang
telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah,
diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang
berkompeten.
Pihak-pihak
yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan
imam atau pemimpin.
Seorang
mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah
mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah
satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua
yang muslim.
Namun bila
perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang
perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu
izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
Keharusan
mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada
hadits nabawi :
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ
الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا
فَجَاهِدْ
Seseorang
telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka
beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia
menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada
keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini
memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada
berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata
berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih
diutamakan.
Hadits ini
sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah
SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila
telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang
mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan
berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak
bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena
itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi,
tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ
أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah
kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang
untuknya selain kamu.
Namun bila
seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya
ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut
jumhur ulama.
Dasarnya
adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika
mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang
kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara
para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum
beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah,
keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
Para ulama
menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari
kedua orang tua.
Contoh
pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat
berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan
pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan
pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh
kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua,
karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah
berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut
berjihad.
Dalam hal
ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua
orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari
jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
Bila
seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh
berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya
itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang
kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain,
sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang
yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya
belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang
dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama,
dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban
hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas
hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada
beban hutang kepada manusia.
Seandainya
hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama
sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib
didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda
pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya,
apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya
adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ
رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ
إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ
إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi
Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW
dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan
dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid)
dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang.
Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang
lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari
Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang
banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan
sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا
زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat
terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya.
(HR. Bukhari)
Dan
Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ
أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا
قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah
kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak
berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan
ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam,
atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab
keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai
dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah.
Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat.
Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih
dahulu dari imam.
Semua bentuk
ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang
disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat,
zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi
sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi
nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk
itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah
mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi
sebagai berikut :
Syarat pertama
dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah
Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak
ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain,
hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam
rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka
yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau
kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah
dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan
sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan
Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di
jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam
ibadah jihad.
Orang kafir
tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah
berikut ini :
أَنَّ
رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ
فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari
musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah
SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang
musyrik”.(HR. Muslim)
Syarat kedua
untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang
tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau
lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad
atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab
perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada
mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi
secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang
yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat,
puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah
jihad fi sabilillah.
Rasulullah
SAW bersabda :
Telah
diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
Syarat
ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang
diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang
masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk
melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ
أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu
Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat
Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam
pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya
Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita
mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum
cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin
untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada
Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah
bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini
menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang
telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya
fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi
diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun
mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung
dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau
sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
Syarat
keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk
berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban
berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun
bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita
tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara
langsung.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال :
جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk
berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada
pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu
Khuzaimah)
Jihad adalah
ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi
termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang
berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara
lain :
Yang
dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga
untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi
seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap
wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban
memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada
pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang
laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada
orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak
punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia
mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk
dikerjakan.
Bekerja
mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah
menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya
bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh
nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang
ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah
ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
Berangkat
jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga
untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya
menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana
semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang
tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana
harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit
terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga
menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan
pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama
tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا
أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada
berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu
memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para
shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati
ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya
harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka
ikut serta.
Ini
menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan
perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan
kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah
bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
Hal yang
lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab
jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa
senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah
pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu
persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT
mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk
dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk
barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal :
60)
Baju besi
Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang
dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk
hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga
senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47
buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya
bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab
percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
Jihad adalah
perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan
sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang
badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin
untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya
sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ
عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ
حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah
akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan
barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS.
Al-Fath : 17)
لَيْسَ
عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ
مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
(QS. At-Taubah : 91)
Seorang yang
telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah,
diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang
berkompeten.
Pihak-pihak
yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan
imam atau pemimpin.
Seorang
mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah
mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah
satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua
yang muslim.
Namun bila
perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang
perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu
izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
Keharusan
mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada
hadits nabawi :
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ
الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا
فَجَاهِدْ
Seseorang
telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka
beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia
menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada
keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini
memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada
berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata
berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih
diutamakan.
Hadits ini
sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah
SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila
telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang
mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan
berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak
bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena
itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi,
tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ
أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah
kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang
untuknya selain kamu.
Namun bila
seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya
ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut
jumhur ulama.
Dasarnya
adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika
mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang
kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara
para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum
beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah,
keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
Para ulama
menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari
kedua orang tua.
Contoh
pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat
berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan
pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan
pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh
kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua,
karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah
berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut
berjihad.
Dalam hal
ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua
orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari
jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
Bila
seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh
berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya
itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang
kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain,
sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang
yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya
belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang
dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama,
dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban
hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas
hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada
beban hutang kepada manusia.
Seandainya
hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama
sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib
didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda
pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya,
apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya
adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ
رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ
إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ
إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi
Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW
dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan
dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid)
dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang.
Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang
lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari
Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang
banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan
sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا
زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat
terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya.
(HR. Bukhari)
Dan
Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ
أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا
قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah
kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak
berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan
ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam,
atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab
keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai
dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah.
Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat.
Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih
dahulu dari imam.
Semua bentuk
ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang
disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat,
zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi
sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi
nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk
itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah
mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi
sebagai berikut :
Syarat pertama
dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah
Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak
ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain,
hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam
rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka
yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau
kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah
dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan
sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan
Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di
jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam
ibadah jihad.
Orang kafir
tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah
berikut ini :
أَنَّ
رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ
فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari
musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah
SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang
musyrik”.(HR. Muslim)
Syarat kedua
untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang
tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau
lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad
atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab
perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada
mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi
secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang
yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat,
puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah
jihad fi sabilillah.
Rasulullah
SAW bersabda :
Telah
diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
Syarat
ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang
diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang
masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk
melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ
أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu
Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat
Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam
pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya
Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita
mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum
cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin
untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada
Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah
bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini
menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang
telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya
fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi
diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun
mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung
dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau
sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
Syarat
keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk
berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban
berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun
bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita
tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara
langsung.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال :
جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk
berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada
pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu
Khuzaimah)
Jihad adalah
ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi
termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang
berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara
lain :
Yang
dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga
untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi
seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap
wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban
memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada
pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang
laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada
orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak
punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia
mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk
dikerjakan.
Bekerja
mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah
menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya
bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh
nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang
ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah
ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
Berangkat
jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga
untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya
menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana
semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang
tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana
harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit
terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga
menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan
pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama
tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا
أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada
berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu
memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para
shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati
ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya
harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka
ikut serta.
Ini
menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan
perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan
kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah
bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
Hal yang
lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab
jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa
senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah
pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu
persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT
mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk
dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk
barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal :
60)
Baju besi
Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang
dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk
hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga
senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47
buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya
bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab
percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
Jihad adalah
perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan
sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang
badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin
untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya
sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ
عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ
حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah
akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan
barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS.
Al-Fath : 17)
لَيْسَ
عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ
مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
(QS. At-Taubah : 91)
Seorang yang
telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah,
diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang
berkompeten.
Pihak-pihak
yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan
imam atau pemimpin.
Seorang
mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah
mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah
satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua
yang muslim.
Namun bila
perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang
perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu
izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
Keharusan
mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada
hadits nabawi :
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ
الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا
فَجَاهِدْ
Seseorang
telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka
beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia
menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada
keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini
memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada
berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata
berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih
diutamakan.
Hadits ini
sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah
SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila
telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang
mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan
berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak
bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena
itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi,
tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ
أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah
kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang
untuknya selain kamu.
Namun bila
seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya
ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut
jumhur ulama.
Dasarnya
adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika
mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang
kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara
para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum
beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah,
keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
Para ulama
menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari
kedua orang tua.
Contoh
pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat
berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan
pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan
pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh
kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua,
karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah
berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut
berjihad.
Dalam hal
ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua
orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari
jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
Bila
seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh
berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya
itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang
kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain,
sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang
yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya
belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang
dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama,
dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban
hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas
hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada
beban hutang kepada manusia.
Seandainya
hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama
sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib
didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda
pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya,
apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya
adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ
رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ
إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ
إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi
Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW
dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan
dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid)
dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang.
Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang
lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari
Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang
banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan
sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا
زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat
terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya.
(HR. Bukhari)
Dan
Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ
أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا
قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah
kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak
berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan
ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam,
atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab
keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai
dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah.
Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat.
Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih
dahulu dari imam.
Semua bentuk
ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang
disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat,
zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi
sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi
nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk
itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah
mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi
sebagai berikut :
Syarat pertama
dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah
Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak
ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain,
hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam
rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka
yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau
kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah
dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan
sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan
Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di
jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam
ibadah jihad.
Orang kafir
tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah
berikut ini :
أَنَّ
رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ
فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari
musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah
SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang
musyrik”.(HR. Muslim)
Syarat kedua
untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang
tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau
lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad
atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab
perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada
mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi
secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang
yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat,
puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah
jihad fi sabilillah.
Rasulullah
SAW bersabda :
Telah
diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
Syarat
ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang
diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang
masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk
melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ
أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu
Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat
Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam
pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya
Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita
mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum
cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin
untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada
Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah
bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini
menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang
telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya
fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi
diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun
mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung
dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau
sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
Syarat
keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk
berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban
berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun
bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita
tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara
langsung.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال :
جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk
berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada
pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu
Khuzaimah)
Jihad adalah
ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi
termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang
berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara
lain :
Yang
dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga
untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi
seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap
wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban
memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada
pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang
laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada
orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak
punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia
mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk
dikerjakan.
Bekerja
mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah
menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya
bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh
nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang
ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah
ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
Berangkat
jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga
untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya
menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana
semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang
tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana
harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit
terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga
menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan
pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama
tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا
أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada
berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu
memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para
shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati
ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya
harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka
ikut serta.
Ini
menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan
perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan
kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah
bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
Hal yang
lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab
jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa
senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah
pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu
persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT
mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk
dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk
barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal :
60)
Baju besi
Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang
dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk
hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga
senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47
buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya
bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab
percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
Jihad adalah
perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan
sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang
badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin
untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya
sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ
عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ
حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah
akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan
barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS.
Al-Fath : 17)
لَيْسَ
عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ
مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
(QS. At-Taubah : 91)
Seorang yang
telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah,
diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang
berkompeten.
Pihak-pihak
yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan
imam atau pemimpin.
Seorang
mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah
mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah
satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua
yang muslim.
Namun bila
perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang
perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu
izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
Keharusan
mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada
hadits nabawi :
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ
الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا
فَجَاهِدْ
Seseorang
telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka
beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia
menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada
keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini
memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada
berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata
berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih
diutamakan.
Hadits ini
sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah
SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila
telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang
mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan
berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak
bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena
itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi,
tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ
أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah
kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang
untuknya selain kamu.
Namun bila
seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya
ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut
jumhur ulama.
Dasarnya
adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika
mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang
kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara
para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum
beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah,
keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
Para ulama
menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari
kedua orang tua.
Contoh
pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat
berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan
pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan
pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh
kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua,
karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah
berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut
berjihad.
Dalam hal
ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua
orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari
jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
Bila
seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh
berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya
itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang
kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain,
sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang
yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya
belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang
dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama,
dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban
hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas
hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada
beban hutang kepada manusia.
Seandainya
hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama
sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib
didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda
pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya,
apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya
adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ
رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ
إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ
إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi
Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW
dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan
dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid)
dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang.
Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang
lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari
Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang
banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan
sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا
زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat
terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya.
(HR. Bukhari)
Dan
Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ
أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا
قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah
kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak
berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan
ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam,
atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab
keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai
dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah.
Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat.
Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih
dahulu dari imam.
Semua bentuk
ibadah dalam agama Islam telah ditetapkan syarat-syaratnya. Tidak semua orang
disyariatkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Shalat,
zakat, puasa, haji dan berbagai ritual dalam syariah, ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi, agar ibadah itu menjadi sah hukumnya dan diterima Allah SWT
Jihad fi
sabilillah juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah yang sangat tinggi
nilainya. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melaksanakannya.
Dan untuk
itu, para ulama, berdasarkan ayat dan hadits nabawi yang shahih, telah
mengumpulkan dan menyusun syarat-syarat yang telah Allah tetapkan menjadi
sebagai berikut :
Syarat pertama
dan utama untuk berjihad harus beragama Islam.
Tidaklah
Allah mensyariatkan orang untuk berjihad kecuali bila orang itu mengakui tidak
ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dalam kata lain,
hanya mereka yang beragama Islam saja yang diperintah untuk berjihad dalam
rangka ibadah kepada Allah.
Hanya mereka
yang muslim saja yang akan mendapatkan pahala besar jihad, ghanimah atau
kemuliaan mati syahid di jalan-Nya. Sedangkan mereka yang masih bermasalah
dengan konsep ketuhanan dan kenabian, belum mengingkari semua tuhan dan
sembahan, masih belum menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan
Allah, mereka bukan termasuk orang-orang yang diberi beban untuk berjihad di
jalan-Nya, dan tidak akan mendapatkan semua kemuliaan yang terkandung di dalam
ibadah jihad.
Orang kafir
tidak diberi izin oleh imam atau pimpinan jihad, sebagaimana hadits Aisyah
berikut ini :
أَنَّ
رَسُول اللَّهِ r خَرَجَ إِلَى بَدْرٍ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
فَقَال لَهُ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَال : لاَ قَال : فَارْجِعْ
فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju Badar, lalu seorang dari
musyrikin (kafir) ingin ikut serta. Beliau SAW menanyakan idenitasnya,”Apa kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Orang itu menjawab,”Tidak”. Rasulullah
SAW berkata,”Pulanglah, Aku tidak meminta pertolongan dari seorang
musyrik”.(HR. Muslim)
Syarat kedua
untuk berjihad haruslah orang yang waras dan berakal sehat.
Orang yang
tidak berakal seperti gila, tidak waras, ayan, idiot, berpenyakit syaraf, atau
lemah ingatan adalah termasuk orang-orang yang tidak ada pensyariatan jihad
atas mereka, karena kekurangan yang ada pada mereka.
Sebab
perintah Allah SWT dalam ibadah dan amal-amal lainnya, hanya dibebankan kepada
mereka yang merupakan ahli dalam beban itu. Orang yang tidak Allah SWT lengkapi
secara normal akalnya, maka Allah SWT tidak memberinya perintah agama.
Dan orang
yang tidak berakal ini bebas tidak menjalan semua perintah Allah, baik masalah shalat,
puasa, haji, dan seterusnya hingga juga tidak diwajibkan atas mereka ibadah
jihad fi sabilillah.
Rasulullah
SAW bersabda :
Telah
diangkat pena dari orang yang gila hingga dia kembali waras. (HR)
Syarat
ketiga adalah bulughah, dimana hanya mereka yang sudah baligh saja yang
diperintahkan untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Mereka yang
masih kanak-kanak bahkan yang belum cukup umur, masih belum diperkenankan untuk
melaksanakan perintah Allah SWT yang satu ini.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَال : عُرِضْتُ عَلَى رَسُول اللَّهِ r يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ
أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَلَمْ يُجِزْنِي فِي الْمُقَاتِلَةِ
Dari Ibnu
Umar radhiyallahuanhu berkata,”Aku menawarkan diri untuk ikut perang Uhud saat
Aku berusia 14 tahun, namun beliau SAW tidak memperbolehkan Aku ikut dalam
pertempuran itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan hanya
Ibnu Umar saja yang pernah mengalami penolakan untuk ikut berjihad, tetapi kita
mencatat ada beberapa nama shahabat nabi yang saat itu belum baligh atau belum
cukup umur yang ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW ketika meminta izin
untuk ikut serta dalam jihad fi sabilillah.
Misalnya ada
Usamah bin Zaid, Al-Barra’ bin Azib, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arrabah
bin Aus ridhwanullahi alaihim.
Hal ini
menunjukkan bahwa syarat ikut jihad fi sabilillah adalah hanya mereka yang
telah dewasa dalam arti telah baligh. Remaja yang belum cukup umur meski punya
fisik yang kuat dan semangat jihad yang tinggi, apa boleh buat, belum lagi
diberi izin untuk ikut pertempuan di front terdepan.
Kalau pun
mereka dilibatkan, hanya pada jenis pekerjaan yang tidak terlibat langsung
dengan pertempuan, seperti menjaga para wanita dan anak-anak kecil, atau
sebagai informan atau mata-mata yang menyamar menjadi rakyat biasa.
Syarat
keempat adalah laki-laki. Hanya laki-laki saja yang Allah perintahkan untuk
berjiad di jalan Allah. Sedangkan para wanita tidak diberlakukan kewajiban
berjihad di medan tempur menghadang musuh-musuh Allah secara terbuka.
Walau pun
bukan berarti wanita tidak diberi peran dalam jihad. Namun maksudnya wanita
tidak diperkenankan untuk maju ke front terdepan dalam pertempuan fisik secara
langsung.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ هَل عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ ؟ فَقَال :
جِهَادٌ لاَ قِتَال فِيهِ : الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari Aisyah
radhiyallahuanha bertanya,”Ya Rasulallah, apakah wanita diwajibkan untuk
berjihad?”. Rasulullah SAW menjawab,”Jihadnya adalah jihad yang tidak ada
pertempuran fisik di dalamnya, yaitu haji dan umrah. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu
Khuzaimah)
Jihad adalah
ibadah yang multi dimensi, bukan hanya terkait dengan fisik saja, tetapi
termasuk juga menuntut harta bahkan jiwa.
Orang yang
berjihad di jalan Allah SWT harus memenuhi syarat kemampuan, yang rinciannya antara
lain :
Yang
dimaksud dengan kemampuan dalam nafkah bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga
untuk keluarga yang ditinggalkan. Sebab meski pun pergi berjihad, tetapi
seorang suami tetap wajib memberi nafkah kepada istrinya. Seorang Ayah tetap
wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Kewajiban
memberi nafkah tidak gugur dengan alasan mau pergi berjihad. Dan bila belum ada
pihak yang menjamin keberlangsungan nafkah buat anak dan istri, seorang
laki-laki tidak wajib berangkat untuk berjihad.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taubah : 91)
Kalau ada
orang miskin mau berangkat berjihad, sementara untuk nafkah dirinya saja tidak
punya harta, belum lagi buat keluarga yang ditinggalkannya, maka sebaiknya dia
mengurungkan niat berjihad, sebab baginya jihad bukan ibadah yang wajib untuk
dikerjakan.
Bekerja
mencari nafkah dan penghidupan justru lebih harus diutamakan, ketimbang malah
menjadi beban mujahidin lainnya.
Lain halnya
bila ada badan atau pimpinan jihad yang memastikan akan menanggung seluruh
nafkah, baik untuk mujahidin sendiri maupun untuk para keluarga yang
ditinggalkannya. Bila memang demikian dan memenuhi syarat lainnya yang telah
ditentukan, barulah jatuh kewajiban jihadnya.
Berangkat
jihad itu membutuhkan biaya, bukan hanya untuk makan dan minum. Tetapi juga
untuk membeli kendaraan khusus unutk perang, atau setidaknya untuk biaya
menyewa kendaraan. Dan umumnya tempat untuk berjihad bukan daerah wisata dimana
semua sudah diurus oleh travel agen perjalanan.
Kadang
tempat yang dituju itu ada di wilayah tak berpenghuni dan masih perawan, dimana
harus dijalani dalam waktu yang tidak jelas lamanya. Kadang harus naik bukit
terjal dan gunung-gunung, atau menyeberangi sungai dan rawa, kadang juga
menuruni lembah dan ngarai. Semua itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit, dan
pada hakikatnya semua biaya harus ditanggung oleh mujahidin sendiri, selama
tidak ada pihak yang menanggungnya.
وَلاَ
عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا
أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا
أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada
berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu
memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu." Lalu mereka kembali, sedang mata mereka
bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan. (QS. At-Taubah : 92)
Banyak para
shahabat Nabi SAW yang pulang menangis bercucuran air mata, karena hasrat hati
ingin ikut berjihad fi sabilillah, namun apa daya ternyata mereka tidak punya
harta untuk membiayai perjalanan jauh. Terpaksa Rasulullah SAW menolak mereka
ikut serta.
Ini
menunjukkan bahwa jihad fi sabilillah bukan pekerjaan santai dan bukan
perjalanan wisata. Tetapi membutuhkan harta yang banyak, bekal yang cukup dan
kendaraan yang kuat. Karena itu para shahabat Nabi dianjurkan untuk sudah
bersiap-siap jauh sebelum ada kewajiban untuk berjihad fi sabilillah.
Hal yang
lebih penting dari semua itu adalah kemampuan dalam mengadakan senjata. Sebab
jihad adalah perang dan perang itu modalnya senjata. Tidak ada perang tanpa
senjata. Sebab jihad bukan adu tinju pakai tangan kosong. Jihad adalah
pertempuran, dimana sejarah peperangan di muka bumi selalu identik dengan adu
persenjataan, meski senjata bukan satu-satunya faktor kemenangan.
Allah SWT
mensyariatkan jihad kepada umat Islam yang mampu mengadakan senjata untuk
dirinya, baik dengan cara membuatnya atau membelinya. Dan senjata termasuk
barang mahal yang tidak semua orang mampu untuk memilikinya.
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya . (QS. Al-Anfal :
60)
Baju besi
Rasulullah SAW saja bisa dijadikan barang gadai (jaminan atas hutang), yang
dengan uang pinjaman itu Rasulullah SAW bisa mendapat membeli makanan untuk
hidup berbulan-bulan lamanya.
Harga
senjata api mainan di Jakarta yang mirip dengan M-16 buatan Amerika atau AK-47
buatan Rusia bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Itu baru mainannya, kalau aslinya
bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itu baru senjatanya, belum pelurunya. Sebab
percuma punya senapan otomatis kalau tidak punya peluru.
Jihad adalah
perang dan perang adalah adu kekuatan pisik. Hanya orang yang jasadnya kuat dan
sehat saja yang diizinkan untuk bertempur melawan musuh secara langsung.
Orang yang
badannya lemah, kurus kering, kurang makan atau kurang gizi, tidak diberi izin
untuk ikut berjihad. Bagaimana dia bisa menjatuhkan lawan, sementara badannya
sendiri penyakitan, tidak mampu berdiri sendiri.
لَيْسَ
عَلَى الأَْعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الأَْعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْمَرِيضِ
حَرَجٌ
Tiada dosa
atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit . Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah
akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan
barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS.
Al-Fath : 17)
لَيْسَ
عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ
مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
Tiada dosa
atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
(QS. At-Taubah : 91)
Seorang yang
telah berketetapan hati ingin menjalankan kewajiban berjihad di jalan Allah,
diharuskan mendapatkan terlebih dahulu perizinan dari orang-orang yang
berkompeten.
Pihak-pihak
yang menentukan dalam berjihad antara lain adalah orang tua, pemberi hutang dan
imam atau pemimpin.
Seorang
mujahid ketika akan berangkat berperang ke tempat yang jauh, harus sudah
mengantungi izin dari kedua orang tuanya, apabila keduanya muslim. Bila salah
satunya muslim dan yang lainnya kafir, minimal izin itu didapat dari orang tua
yang muslim.
Namun bila
perangnya terjadi di tempat tinggal mereka, dimana musuh datang menyerang
perumahan mereka, membunuh, merampas atau menyiksa orang-orang, maka saat itu
izin dari kedua orang tua tidak lagi diperlukan.
Keharusan
mendapat izin dari orang tua ketika akan berangkat berjihad didasarkan pada
hadits nabawi :
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَال عَلَيْهِ
الصَّلاةُ وَالسَّلامُ : أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : فَفِيهِمَا
فَجَاهِدْ
Seseorang
telah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta izin berangkat jihad. Maka
beliau SAW bertanya,"Adakah kamu masih punya kedua orang tua?". Dia
menjawab,"Ya, masih". Rasulullah SAW berkata,"Berjihadlah pada
keduanya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini
memberi penegasan bahwa berkhidmat kepada orang tua jauh lebih utama dari pada
berjihad di jalan Allah, seberapa pun tingginya keutamaan berjihad. Ternyata
berbuat baik dan berkhidmat kepada kedua orang tua ternyata jauh lebih
diutamakan.
Hadits ini
sekaligus juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya berjihad di jalan Allah
SWT itu hukumnya bukan fardhu ‘ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, bila
telah ada sebagian orang yang telah menegakkannya dengan kapasitas yang
mencukupi, maka gugurlah kewajiban orang lain dalam berjihad.
Sedangkan
berkhidmat kepada orang tua hukumnya fardhu ‘ain, dimana kewajiban itu tidak
bisa diwakilkan kepada orang lain.
Karena
itulah ketika ada seorang yang bernadzar ingin berjihad menaklukkan Romawi,
tetapi orang tuanya tidak mengizinkannya, Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata kepadanya sambil menasehati :
أَطِعْ
أَبَوَيْكَ فَإِنَّ الرُّومَ سَتَجِدُ مَنْ يَغْزُوهَا غَيْرَكَ
Taatilah
kedua orang tuamu. Romawi itu sudah ada orang-orang yang akan berperang
untuknya selain kamu.
Namun bila
seseorang memiliki kedua orang tua yang bukan muslim, dan tidak mengizinkan anaknya
ikut berangkat berjihad, maka izin dari keduanya tidak diperlukan menurut
jumhur ulama.
Dasarnya
adalah apa yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW di masa lalu, ketika
mereka pergi berjihad di jalan Allah, sementara banyak di antara mereka yang
kedua orang tuanya masih belum masuk Islam alias kafir.
Di antara
para shahabat yang sering ikut berjihad namun orang tua mereka masih belum
beragama Islam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Hudzaifah bin Utbah radhiyallahuanhuma. Abu Quhafah adalah ayahanda dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Utbah bin Rabi’ah adalah ayahanda dari Abu Hudzaifah,
keduanya masih kafir ketika anak-anak mereka ikut berjihad di jalan Allah.
Para ulama
menuliskan beberapa contoh kasus yang menjelaskan betapa pentingnya izin dari
kedua orang tua.
Contoh
pertama, seseorang telah mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk berangkat
berjihad. Namun kemudian keduanya mencabut kembali izinnya. Bila pesan
pencabutan itu sampai kepadanya, maka wajib atasnya untuk berhenti berjihad dan
pulang sesuai perintah orang tuanya.
Contoh
kedua, seseorang yang berangkat pergi berjihad tanpa izin dari kedua orang tua,
karena kebetulan saat itu keduanya masih kafir. Lalu saat jihad tengah
berkecamuk, kedua orang tuanya masuk Islam, tapi tidak mengizinkan anaknya ikut
berjihad.
Dalam hal
ini, bila anaknya yang sedang berjihad mendapat kabar atas larangan dari kedua
orang tuanya yang sudah masuk Islam, maka wajiblah atasnya untuk berhenti dari
jihad dan pulang memenuhi perintah orang tuanya.
Bila
seseorang sedang berhutang harta kepada orang lain, maka dirinya tidak boleh
berangkat berjihad, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang menghutanginya
itu, atau telah lunas hutangnya.
Sebab hutang
kepada orang lain lebih wajib untuk ditunaikan, karena merupakan fardhu ‘ain,
sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Dan orang
yang mati syahid itu tidak bisa lantas masuk surga, selama urusan hutang-hutangnya
belum diselesaikan terlebih dahulu.
Jadi yang
dimaksud dengan izin dari pemberi hutang disini ada dua kemungkinan. Pertama,
dia melunasi dulu hutang-hutangnya dan berangkat ke medan jihad tanpa ada beban
hutang apa pun. Kedua, pihak pemberi hutang membebaskannya dari tuntutan atas
hutang yang belum dibayarnya. Sehingga dia berangkat ke medan jihad tanpa ada
beban hutang kepada manusia.
Seandainya
hutang itu belum dilunasi, maka dia wajib utnuk melunasinya terlebih dahulu.
Para ulama
sepakat apabila hutang itu sudah jatuh tempo, maka melunasi hutang itu wajib
didahulukan dari pada ikut serta di dalam jihad. Namun para ulama berbeda
pendapat apabila hutang itu masih lama dari waktu jatuh tempo pelunasannya,
apakah dibolehkan ikut berjihad atau tidak.
Dalilnya
adalah hadits nabi berikut ini :
أَنَّ
رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ r فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ : أَرَأَيْتَ
إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيل اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ قَال : نَعَمْ
إِنْ قُتِلْتَ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلامُ قَال لِي ذَلِكَ
Dari Abi
Qatadah radhiyallahuanhu berakta bahwa ada seseorang mendatangi Rasulullah SAW
dan bertanya,”Benarkah bila Aku mati di jalan Allah, semua dosa-dosaku akan
dihapuskan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Benar, kalau kamu terbunuh (syahid)
dalam keadaan sabar, menghadap musuh tidak lari, kecuali bila hutang.
Sesungguhnya Jibril aliahissalam berkata demikian kepadaku”. (HR. Muslim)
Dasar yang
lain adalah ketika shahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Haram ayah dari
Jabir radhiyallahuanhuma mati syahid di medan jihad Uhud. Namun dia punya hutang yang
banyak sekali. Lantas anaknya membayarkan lunas semua hutang-hutang itu dengan
sepengetahuan Nabi SAW, dan beliau SAW memujinya :
مَا
زَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوهُ
Malaikat
terus menerus menaungi dengan sayap-sayap mereka hingga kalian mengangkatnya.
(HR. Bukhari)
Dan
Rasulullah SAW berkata kepada Jabir :
أَفَلاَ
أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ ؟ مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا
قَطُّ إِلاَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ وَأَحْيَا أَبَاكَ وَكَلَّمَهُ كِفَاحًا
Maukah
kuberi kabar gembira atas apa yang Allah lakukan kepada ayahmu? Allah tidak
berkata kepada siapapun kecuali dari balik tabir. Namun Allah menghidupkan
ayahmu dan mengajaknya bicara langsung. (HR. Turmizy)
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah menegaskan bahwa jihad tidak disukai tanpa ada izin dari imam,
atau amir dari suatu pemerintahan yang sah.
Sebab
keharusan ada izin dari imam ada dua hal. Pertama, jihad itu harus sesuai
dengan kebutuhan. Dan yang paling tahu hal itu adalah imam atau amir yang sah.
Kedua, pada hakikatnya jihad itu adalah tanggung-jawab dari imam, bukan rakyat.
Maka bila rakyat mau berjihad, setidak-tidaknya mereka mendapat izin terlebih
dahulu dari imam.
No comments:
Post a Comment