Disalin dari : https://www.bacaanmadani.com/2016/07/3-ciri-ciri-yang-harus-dimiliki-orang.html
Terima kasih sudah berkunjung.
Disalin dari : https://www.bacaanmadani.com/2016/07/3-ciri-ciri-yang-harus-dimiliki-orang.html
Terima kasih sudah berkunjung.
Pernikahan dini merupakan pernikahan pada remaja dibawah usia 20 tahun yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Masa remaja juga merupakan masa yang rentan resiko kehamilan karena pernikahan dini (usia muda). Diantaranya adalah keguguran, persalinan prematur, berat badan lahir rendah (BBLR), kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia pada kehamilan, keracunan kehamilan dan kematian.
Dampak dari pernikahan dini yang dilakukan remaja yakni akan mengalami tekanan psikis yang berakibat pada pernikahannya maupun kepada anaknya jika kelak ia memiliki anak. Lebih jauh lagi, pernikahan dini akan mempengaruhi kualitas keluarga dan berdampak langsung pada rendahnya kesejahteraan keluarga. Dikalangan remaja pernikahan dini dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari dosa yaitu seks bebas.[1]
Ada juga yang melakukannya karena terpaksa dan hamil diluar nikah. Fenomena tersebut sering kita dengar di masyarakat, namun bukan kah pernikahan itu tidak hanya sekedar ijab qabul dan menghalalkan yang haram. Melainkan kesiapan moril dan materil untuk mengarungi dan berbagi apapun kepada pasangan tercinta.
Pernikahan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan suami istri dalam memikul tanggung-jawab. Begitu memutuskan untuk menikah, mereka harus siap menanggung segala beban yang timbul akibat per nikahan, terutama menyangkut pemberian nafkah, pendidikan dan pengasuhan anak. Dalam konteks pendidikan anak, usia seorang ibu yang terlalu muda dan kurang memiliki kesiapan lemalhirkan, bias sulit mendapatkan keturunan yang berkualitas.[2]
Kedewasaan seorang ibu, turut serta mempengaruhi perkembangan anak. Seorang ibu yang telah dewasa secara psikologis, secara umum akan lebih terkendali emosi maupun tindakannya terhadap anak-anaknya, dibandingkan dengan para ibu muda. Hal-hal semacam ini sangat berdampak pada pembentukan karakter anakanak yang dilahirkannya. Selain mempengaruhi aspek fisik, umur ibu juga mempengaruhi aspek psikologi anak.
Seorang ibu yang masih berusia remaja sebenarnya belum memiliki kesiapan menjadi ibu yang sesungguhnya, karena minimnya keterampilan mengasuh anak. Sifat-sifat ibu muda yang pada umumnya memiliki emosi yang kurang stabil, minimimnya kesiapan psikologis menghadapi dan menyelesaikan konflik-konflik yang dialami, akan sangat mempengaruhi perkembangan psikososial anak. Oleh sebab itu, sangat penting artinya memperhatikan umur seseorang yang akan menikah. Meskipun batas umur pernikahan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 1 Tahun 74, yaitu pernikahan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun,(Soemiyati,1999), namun dalam praktiknya masih banyak dijumpai per nikahan pada usia muda atau di bawah umur.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di makasud nikah dini...?
2. Apakah nikah dini nampak solusi atau beban sosial........?
C. Pembahasan
1. Pernikahan Usia Dini
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan antara pria danwanita yang masih belum mencukupi umur yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Pada dasarnya istilah dibawah umur lahir karena adanya pembatasan usiaminimal seorang diizinkan untuk melakukan pernikahan.[3]Pernikahan dini dalamhalini dapat diartikanmenikah dalam usia yang masih muda yaitu sangat diawalwaktu tertentu, dalam artian dalam keadaankehidupannya yang belum mapan secara finasia.
Istilah pernikahan dini atau pernikahan muda ini sebenarnya tidak dikenal dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) tetapi yang lebih popular adalah pernikahan di bawah umur yaitu pernikahan pada usia dimana seseorang tersebut belum mencapai dewasa. Umumnya pernikahan ini dilakukan oleh pemuda dan pemudi yang belum mencapai taraf ideal untuk melangsungkan suatu pernikahan. Bisa dikatakan mereka belum mapan secara emosioal, financial, serta belum siap secara fisik dan psikis.
Adapun dalam istilah Internasional pernikahan dini dikenal dengan child marriage atau early marriage, adalah pernikahan yang terjadi pada anak di bawah usia 18 tahun. Pembatasan dalam angka 18 ini sesuai dengan batas usia perlindungan anak yang ditetapkan dalam konvensi Hak-hak Anak International (Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1989.
Menurut Majlis Ulama Indonesia (MUI), pernikahan dini adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukunnya, namun satu diatara kedua mempelainya belum balig dan secara psikis belum siap menjalankan tanggung jawab kerumahtanggaan. Dalam kajian fiqh juga takaran balig bagi laki-laki yaitu mimpi basah, apabila batasan balig itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka pernikahan diusia muda (belia) adalah pernikahan di bawah umur 15 tahun menurut mayoritas ahli fiqh, di bawah umur 17 atau 18 tahun menurut Abu Hanifah.
Sekalipun ada kesepakatan dalam definisi pernikahan, namun batasan usia masih menjadi hal yang kerap kali diperdebatkan. Mengenai hal ini akan dibahas lebih jauh pada pembahasan selanjutnya.
D. Dalil pernikahan Dini
Dalil yang menjadi sebuah pijakan dalam pernikahan dini adalah Batasan usia Aisyah radhiallahu anha saat dinikahi oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat beliau berusia 6 tahun dan digauli saat beliau berusia 9 tahun, ini merupakan sebuah patokan atau pijakan hukum islam memperbolehkan nikah di masa dini walaupun di indonesia di larang keras melakukan perkawinan muda.
Akan tetapi beliau merupakan peristiwa sejarah yang valid dan menguatkan keshahihannya serta keharusan menerimanya. Hal tersebut karena beberapa sebabTerdapat riwayat yang bersumber dari pelaku pada peristiwa itu, yaitu Aisyah radhiallahu anha tentang dirinya, yaitu:
تَزَوَّجَنِى النَّبِي صلى الله عليه وسلم وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ ، فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي فَوَفَى جُمَيْمَةً ، فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي ، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لاَ أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي ، فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ ، وَإِنِّي لأَنْهَجُ ، حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ، ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ ، فَقُلْنَ : عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ ، وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ . فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي ، فَلَمْ يَرُعْنِي إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ضُحًى ، فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ (رواه البخاري، رقم 3894 ومسلم، رقم 1422)
Artinya:“Aku dinikahi oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat aku berusia 6 tahun. Lalu kami datang ke Madinah, dan kami tinggal di Bani Harits bin Khazraj. Lalu aku menderita sakit sehingga rambutku rontok kemudian banyak lagi. Lalu ibuku, Ummu Ruman, mendatangiku saat aku berada di ayunan bersama teman-temanku. Lalu dia memanggilku, maka aku mendatanginya, aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Maka dia mengajakku hingga aku tiba di depan pintu sebuah rumah. Aku sempat merasa khawatir, namun akhirnya jiwaku tenang. Kemudian ibuku mengambil sedikit air dan mengusapkannya ke wajah dan kepalaku. Kemudian dia mengajakku masuk ke rumah tersebut. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa orang wanita kaum Anshar. Mereka berkata, “Selamat dan barokah, selamat dengan kebaikan.” Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka dan kemudian mereka mulai merapihkan aku. Tidak ada yang mengagetkan aku kecuali kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada waktu Dhuha. Kemudian ibuku menyerahkan aku kepadanya dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari, no. 3894, Muslim, no. 1422)
E. Faktor Pemicu dan Dampak Pernikaan Dini
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu:
a. Ekonomi: Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan: Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur.
c. Faktor orang tua: Orang tua khawatir terkena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat berlebihan sehingga segera mereka mengawinkan anaknya.
d. Media massa: Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
e. Faktor adat: Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan Setiap keputusan pasti mempunyai akibat baik itu positif maupun negatife,[4]
1. Dampak positif
Pernikahan dini tidak melulu dipandang jelek, kareana di saat orang menikah di masa dini lebih terjaga keifahanya dan terpelihara dari kemaksiatan pernikahan dini juga mempunyai sisi positif diantaranya:
a. Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
b. Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban ekonomi menjadi lebih menghemat.
c. Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional.
d. Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda yang waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil dikarenakan ada orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua.
e. Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.
2. Dampak negatif
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai.
Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran. Selain itu belum lagi masalah ketenagakerjaan, seperti realita yang ada di dalam masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat bekerja sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.[5]
Dari segi kesehatan: Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungannya, penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, risiko meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan 32 pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat mengalami trauma. Dari segi psikologi: Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya lebih mempunyai banyak dampak negative, oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
F. Pernikahan Dini dalam Sejarah
Pembahasan mengenai pernikahan usia dini dalam sejarah tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai hak-hak perempuan dalam sejarah peradaban dunia. Bagaimana sejarah memperlakukan perempuan, turut memberi andil yang cukup signifikan dalam wacana pernikahan dini. Dalam sejarah, wanita seringkali ditempatkan sebagai objek penderita, demikian pula dalam isu pernikahan dini.
Pada masa peradaban Yunani, wanita sama sekali tidak diberi pendidikan dan peran dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka dianggap hina, disebut najis dan penuh dengan perbuatan setan. Dalam hal Undangundang Negara, wanita dipersamakan dengan harta benda yang boleh dijual maupun dibeli secara terbuka di pasar-pasar. Seumur hidup, wanita berada di bawah kekuasaan laki-laki dan tidak diberi kemerdekaan sedikitpun untuk mendapatkan hak-haknya.
Sementara dalam peradaban Romawi kuno, hak anak perempuan sepenuhnya ditangan sang Ayah. Sebagai kepala keluarga, seorang Ayah berhak penuh menentukan apakah anak yang dilahirkan sang istri boleh menjadi bagian dari keluarga, atau harus dibuang. Seorang anak, terutama anak perempuan, sama sekali tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Jika Ayah meninggal, kekuasaan atas anak perempuannya diwasiatkan kepada anak laki-laki sebagai wali seumur hidup. Ia hanya bisa lepas dari kungkungan wali apabila menikah dengan laki-laki lain, dan secara otomatis, hidupnya berada di bawah kekuasaan sang suami. Dalam Undang-undang Negara, perempuan dipandang inferior karena mereka dianggap lemah dalam akal.[6]
Di kalangan bangsa Israel, perempuan dianggap sebagai pelayan. Ayah berhak menjual anak puterinya secara mutlak. Wanita dipandang sebagai mahluk terkutuk karena dahulu di Surga, wanita yang menyesatkan Adam hingga diusir ke bumi. Kepercayaan pada mitos ini menyebabkan wanita dianggap inferior atau makhluk rendahan dalam kehidupan bangsa Israel. Hal ini tidak berbeda jauh dari kalangan India kuno yang mempersembahkan wanita sebagai kurban kepada Tuhannya. Wanita tidak memiliki hak untuk hidup setelah suaminya meninggal. Sementara dalam undang-undang Hammurabi, wanita diperhitungkan sama dengan hewan ternak yang bebas untuk dibunuh.
Mempertimbangkan bagaimana perempuan diperlakukan dalam peradaban-peradaban kuno, dapat disimpulkan bahwa dalam hal memilih pasangan hidupnya, perempuan sama sekali tidak memiliki kebebasan. Hal ini berarti, mereka juga tidak memiliki hak untuk menentukan kapan mereka ingin dan pantas menikah, karena hak dirinya sepenuhnya berada di tangan sang Ayah.
G. Kesimpulan
1. Dalil yang menjadi sebuah pijakan dalam pernikahan dini adalah Batasan usia Aisyah radhiallahu anha saat dinikahi oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat beliau berusia 6 tahun dan digauli saat beliau berusia 9 tahun, ini merupakan sebuah patokan atau pijakan hukum islam memperbolehkan nikah di masa dini walaupun di indonesia di larang keras melakukan perkawinan muda
2. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai.
3. Dampak positif pun sangat banyak dalam pernikahan dini disegi terhindar dari sek bebas (perziaan) dan lebih terjaga keifahan seseorang dengan sebab adanya sebuah ikatan pernikahan jauh dari kemaksiatan.
H. Daftar Pustaka
Eka Yuli Handayani, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pernikahan Usia Dini Pada Remaja Putri di Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rokan Hulu”, Jurnal Maternity and Neonatal, Volume 1 No. 5, 2014,
Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012,
Wisono Mulyadi, Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni, “Akibat Hukum Penetapan Dispensasi Perkawinan Anak di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Pacitan), Privat Law, Vol. V No 2 Juli Desember 2017,
Nommy Horas Thombang Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta, Erlangga, 2004,
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan: 22 Tahun Konvensi CEDAW di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2006,
[1] Eka Yuli Handayani, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pernikahan Usia Dini Pada Remaja Putri di Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rokan Hulu”, Jurnal Maternity and Neonatal, Volume 1 No. 5, 2014, hlm. 203
[2] Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012, hlm. 83-101
[3] Depdiknas,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 12.9
[4] Wisono Mulyadi, Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni, “Akibat Hukum Penetapan Dispensasi Perkawinan Anak di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Pacitan), Privat Law, Vol. V No 2 Juli Desember 2017, hlm. 70
[5] Nommy Horas Thombang Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta, Erlangga, 2004, hlm. 43.
[6] Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan: 22 Tahun Konvensi CEDAW di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 57.
Disalin dari : https://www.bacaanmadani.com/2016/07/3-ciri-ciri-yang-harus-dimiliki-orang.html
Terima kasih sudah berkunjung.
No comments:
Post a Comment